Anggap saja ini
curhatan. Letupan dari sebagian jeritan hatiku yang masih terbungkam. Sekeping
kisah yang masih saja terselip di masa lalu, yang tak ingin kubawa secuilpun ke
masa depan. Ini tentang cinta. Yah, memangnya apalagi yang bisa membuatmu
menunggu walau begitu terluka? Ini tentang kesetiaan semu. Tentang cinta yang
hanya bisa kusampaikan lewat binar-binar ketulusan dimataku. Tentang sosok yang
hanya mampu kuraih lewat lengan doa, selain dalam buai-buai mimpi yang tak
kunjung menjadi nyata.
Khayalku begitu terlatih
merangkai namamu. Membiaskan pahatan demi pahatan wajah berkharisma yang dalam
sekedip mata sudah begitu sukses merajai anganku. Sosok dengan senyuman manis,
tubuh tegap dan nada bicara yang selalu terngiang-ngiang didalam hati. Aku
menjulukinya sang pencuri. Sang perampas hati yang melucuti logika korbannya
dengan kalimat manis yang menebarkan harap; yang berbuah tangis.
Salahkah aku? Bukan aku
yang meminta desir aneh saat kita saling bertatap. Semuanya terjadi tanpa
kureka-reka, semuanya berakhir tanpa kusangka-sangka. Aku cuma suka
mengagumimu. Menemani hari-harimu… dulu. Menatap diam-diam sosokmu dari suatu
kejauhan bernama jarak. Sekarang. Dari tempatku berdiri, dari tempatmu
bercengkrama manis dengan kekasih barumu.
Aku tak lagi begitu bisa
menggapaimu. Seperti dulu kita saling bercerita, seperti beberapa bulan lalu
kita saling mencinta. Ah, mungkin itu hanya sebagian dari imajinasi khayalku.
Aku yang terlalu menjunjung tinggi ketulusan cinta. Tanpa pernah meminta,
apalagi terucap.
Semua hanya tertuang
dalam syair. Dalam beribu untaian puisi yang selalu saja kutujukan padamu.
Masih untukmu. Entah berapa banyak paragraf dan suku kata yang melukiskan rasa
ini. Rasa yang menyembul perlahan dari keterbiasaan. Dari begitu banyak detik
yang kita bagi bersama, dalam senyuman yang dulu kuanggap bukan apa-apa.
Boro-boro cinta.
Kita memang tak pernah
benar-benar menjadi kita. Aku dan kamu hanya saling bertemu, bertatap dan
berbagi cerita; bukan rasa cinta. Aku sama sekali tak bisa menyampaikannya,
terlebih ketika dawai gitar itu mulai kamu petik, melantunkan melodi Lagu Rindu
yang menyeruak sampai ke telingaku. Bahkan menyentuh tepat dihatinya.
"Lagu rindu ini kuciptakan
Hanya untuk bidadari hatiku tercinta
Walau hanya nada sederhana
Ijinkan kuungkap segenap rasa dan kerinduan..."
Kamu mengakhiri bait itu
dengan senyuman dan tatapan lembut yang jatuh dikedua bola mataku. Aku spontan
terkejut, mulai salah tingkah saat akhirnya kamu malah berkata,
"Ikut
nyanyi dong! Masa aku sendirian...."
Ah! Aku berdecak, tapi mau tidak mau, aku mengangguk.
Dan haripun berlanjut
seperti biasa. Kamu menjemputku dirumah, aku menemanimu berlatih gitar, makan
di warung padang kesukaanmu dan menunggumu di kelas musik. Semua terjadi
begitu saja. Dengan keterbiasaan, tanpa paksaan dan ternyata… tanpa tujuan.
Suatu hari di minggu
ketiga bulan Agustus. Aku menunggumu selama berjam-jam. Cardigan tebal yang
tadinya kukenakan bahkan sudah kulempar sembarangan di atas sofa, dahiku
berkerut. Tiga jam sudah aku menunggu bel pintu berbunyi, tapi bahkan suara
motormupun belum terdengar. Kurogoh handphoneku dan kembali kuhubungi nomor
yang sudah kuhapal di luar kepala itu. Mail box. Handphonemu masih dalam
keadaan mati, seperti beberapa saat lalu.
Dan tiba-tiba semuanya
sirna. Kamu menghilang dan rutinitasku tak lagi sama. Tak ada lagi bunyi
klakson motormu yang tak sabar menungguiku di depan gerbang. Tak ada lagi
duet-duet indah yang selalu saja kutunggu-tunggu. Tak ada lagi kamu. Apalagi
kita.
Sekarang, belum genap
sebulan setelah semuanya terjadi. Kamu bahkan seakan tak pernah mengenalku, kamu berlalu disisiku dengan wanita baru dalam genggamanmu, tersenyum manis
kepadanya layaknya tak pernah ada aku. Pada akhirnya, kisah kita hanyalah dongeng. Cerita yang bahkan
masih aku ragukan realitanya. Kita berakhir. Satu kosong. Hatiku terampas
sementara hatimu masih padanya. Pada wanita barumu. Yah, sudahlah… bukannya
cinta memang tak harus memiliki?
Ah, jangan percaya bualanku. Itu hanya sebaris kalimat yang sering kupakai untuk menghibur diri. Karena sebenarnya, cinta itu tumbuh dari rasa memiliki, dari
kebersamaan yang menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan. Sekarang, bagaimana aku bisa mencintaimu? Jika melihat batang hidungmu saja aku terluka, jika bahkan sekadar mengenang kita saja aku tak bisa. Yah, andai kamu tahu, aku
mulai lelah mencintai dia yang dimiliki oleh orang lain. Apalagi... tetap
berpura-pura tidak tersakiti karenanya.
with
love,
Dedicated
for, Anonim.
Selamat
berusaha melupakan yah!
Kamu
pantas mendapatkan yang lebih baik daripada dia ;)