Ini, entah malam minggu keberapa yang sudah kuhabiskan tanpa kehadiranmu. Tak ada lagi ajakan untuk sekadar mengisi hari ini dengan senyum. Berdua. Ditempat biasa kita memandang bintang dan lautan malam. Tak ada lagi lelucon dan rekaman-rekaman manis yang kamu bagi bersamaku. Tak ada lagi percakapan- percakapan panjang yang biasanya selalu diiringi tawa. Tawa kebahagiaan kita.
Aku mulai mengenali apa yang aku cintai, Tuan. Yang mulai lebih aku sayangi dibandingkan kamu. Iya, menulis. Apakah kamu tahu mengapa aku memanggilmu sinar alfa? Kamu jelas tahu lambang alfa kan, Tuan? Kamu, anak IPA yang mencintai Kimia. Kamu jelas tahu muatan sinar alfa kan, Tuan? Iya, silakan jawab dan aku akan tersenyum. Kamu, sinar alfaku. Sinar radioaktif bermuatan positif yang mempunyai daya ionisasi terkuat. Mengagumkan bukan?
Kamu belum tahu. Kamu tak sempat kuberitahu bahwa aku– selama dua kali berturut-turut, mendapatkan nilai sempurna dalam ujian kimia di semester ini. Bukan. Aku tak bermaksud menyombongkan diri. Kamu tahu kenapa? Karena buku paket kimia yang kupegang, buku paket kimia yang kumiliki sekarang, pernah singgah ditanganmu sebelumnya. Iya, itu buku yang menemanimu selama setahun lalu. Kamu tahu betapa terkejutnya aku? Sangat. Mungkin itu sebabnya aku cukup familiar dengan namamu, dengan nama yang masih saja tak berani kusebutkan.
Kamu bermuatan positif. Tahu pasangannya positif, kan? Iya, negatif. Aku memilih nama yang punya kadar kelemahan. Maaf, aku tak tahu bahwa daya ionisasi terkuat akan membuatmu berkemampuan menarik muatan negatif, Tuan. Aku sangat tak mengira bahwa sinar alfaku akan berhimpitan dengan kutub negatif, dengan berbagai hal yang salah.
Sudah, lupakan. Aku sudah mulai berpaling, Tuan. Aku jelas lebih mencintai menulis. Aku pastinya lebih menyayangi setiap huruf dan kata yang pernah aku goreskan dibanding kamu. Kenapa? Aku mulai jahat yah? Maaf, tapi bukannya kita semua tahu siapa yang dikhianati?
Santai, Tuan. Aku tidak marah. Aku bukan pendendam kolot yang menyimpan kebencian dalam setiap rongga hatinya. Aku cukup pemaaf. Hidupku terlalu singkat untuk sekadar membenci seseorang yang bahkan sudah tak pantas lagi aku pedulikan. Iya, aku cukup bijaksana untuk memilih diam. Untuk lebih memilih menanggapi setiap pertanyaan-pertanyaan konyolmu dengan lelucon. Untuk lebih memilih tertawa dibandingkan menangis.
Aku cukup waras untuk tidak menyesali kepergianmu, Tuan. Aku merasa seperti ada yang aneh. Kamu sepertinya terlalu mahir dalam penghianatan. Kamu terlalu mahir menerbangkan aku tinggi-tinggi ke atas langit, lalu merobek sayapku saat aku bahkan baru meresapi betapa bahagianya melayang diudara. Apa menurutmu ini lucu? Tertawakan saja airmataku, Tuan.
Aku sudah mulai bosan menulis tentangmu. Aku mulai kehabisan bahan obrolan. Aku mulai letih membiarkan kamu berlalu lalang dalam rongga otakku. Membiarkanmu mengembalikan kenangan yang sudah dengan sangat rapi kususun dalam bentuk alinea.
Yah, aku kembali mengingatnya. Lagi-lagi kisah yang sudah terlewatkan ini akhirnya kuceritakan lagi, dan lagi-lagi sosokmu yang sudah menghilang dari peradaban hidupku itu harus kubayangkan lagi. Bagaimana, Tuan? Berkesankah tulisan-tulisan yang pernah aku tulis dalam tangis? Aku harap kamu menyukainya, aku harap kamu meresapi kata demi kata yang kutulis dan menemukan betapa tersakitinya aku.
Aku tak suka berlarut-larut, Tuan. Kebersamaanmu dengannya sudah sangat cukup membuatku tahu diri. Aku menyingkir. Sekarang apalagi? Belum puas menyerpihkan hatiku? :')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar