Senin, 10 Maret 2014

Relativitas Hati

Terkadang memang begini, ada masalah yang tak ingin kubahas karena ujung-ujungnya tak ada solusi, tetap aku yang kelihatan tak tahu diri; yang salah sendiri. Masalahnya memang sederhana, sampai-sampai aku terlalu bingung menanyakannya. Entah ini aku yang terlalu perasa... atau memang kamu yang tak pernah pakai perasaan?

Awalnya cuma iseng. Hitung-hitung menjahili kamu, dan mencairkan suasana yang semakin panas karena rasa kangen yang terpaksa dipendam sedalam-dalamnya, aku berniat membuatmu tertawa; atau mungkin sekadar tersenyum. Satu... dua... tiga... hingga lima belas pesan kukirim dengan candaan, berharap respon yang sama dan berakhir dengan tertawa bersama. Yaaa mungkin ini kedengaran bodoh, tapi saat kamu yang menjahiliku dengan cara itu, aku tersenyum lebar, tertawa dan benar-benar berbangga karena memilikimu. Tapi ternyata harapan memang tinggal harapan... boro-boro tertawa bersama... yang kudapat malah sebaris kalimat dingin khas orang kesal, dengan dominasi kata 'berisik' yang menjadikannya menusuk hati berdarah-darah.

Sudah kesekian kalinya aku mencoba menjadikan kami dekat, setidaknya cukup merasa dekat untuk berbagi segalanya. Tapi ternyata, rintanganku bukan cuma kacaunya lalu lalang sinyal di udara, tapi juga balasan yang biasanya kelewat tajam, terlalu tajam sampai tak sengaja melukai... atau memang cuma aku yang sensi sendiri?

Entahlah, aku cuma bisa menjadikannya kumpulan paragraf. Terlalu pedih untuk kembali membahasnya dalam forum terbuka antara kamu dan aku. Toh, nanti tetap aku juga yang (lagi-lagi) dianggap berlebihan, bukan? Setiap kali ini kuutarakan, senjatamu hanya kata 'cuma', dan aku benci relativitas karena dalam benakmu, goresan dihatiku itu sesepele kata 'CUMA'!

Harus kubiasakan. Aku kembali menguatkan hatiku yang sudah terseok-seok entah untuk keberapa kalinya, tapi seperti yang baru kukatakan tadi pagi, hatiku tak sekuat ragaku. Ia terlalu lemah...
Dan sekarang kamu hilang. Setahuku ini malam Selasa, bukan hari Rabu atau malam Sabtu seperti biasa kamu berlatih futsal. Tombol endchat sudah kutekan sejak beberapa menit yang lalu. Terlalu menyakitkan untuk melihat huruf R yang tercetak besar tanpa balasan yang tak kunjung datang, yang bahkan tak tahu kapan akan datang.

Aku melipir meninggalkan tab-ku di atas meja, membolak-balik materi Ujian Sekolah Kewarganegaraan yang seharusnya sudah kuhapal di luar kepala. Sekitar satu... dua... tiga menit kemudian tab-ku bergetar, dengan bunyi khas bbm yang mau tak mau memecah konsentrasiku yang memang sudah tak bagus sedari awal. Kamu. Lagi. Entah kenapa hatiku mencelus. Rasa enggan menggelayutiku yang mengetik satu persatu huruf tersebut dengan dingin, dengan mood amburadul hancur lebur acak-acakan.

Aku terpaksa menahan kelopak mataku yang mendadak basah.

Besok Ujian Sekolah dan bisa-bisanya aku menangisi kita?
Ah, dasar makhluk lebay keras kepala...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar