Senin, 23 Desember 2013

Aku. Tanpamu.

Entahlah... apakah ini cuma aku, atau memang pagi ini terasa begitu sunyi?

Saat aku mulai menulis tulisan ini, aku baru saja selesai mengotak-atik rubik 5x5 yang membuat otakku semakin melilit. Yaaa yaaaa yaaa, kedengarannya membosankan, bukan? Memang. Sedari tadi aku terus-terusan berusaha membunuh waktu. Aku hanya mengambil benda apapun untuk berpura-pura sibuk, mencoba mengulur waktu dan membuat lupa, tapi nyatanya... tak bisa juga.

Sudut mataku kembali mencuri pandang kearah gadget-ku yang tergeletak mati, mengenaskan. Aku lagi-lagi menghampirinya, (untuk entah kesekian kalinya) berusaha memencet berbagai tombol sambil sesekali berharap layarnya akan menampilkan lebih dari sekadar bulatan-bulatan pattern yang tak kunjung merespon saat di sentuh. Ah! Aku mendecak kesal.

Kulempar tab-ku asal-asalan diatas kasur sambil kembali merenungi nasibku yang entah mengapa selalu terasa menyebalkan. Uh! Harusnya hari ini kuhabiskan dengan tawa... harusnya saat ini kami masih saling bercengkrama... harusnya sekarang, aku dan dia sedang asyik-asyiknya bertukar cerita... Harusnya. Tapi sayangnya... tidak.

Terkadang, jarak suka membuatku gemas sendiri. Entah karena ulah si Tuan Sinyal, lambannya aplikasi BBM, atau malah sulitnya lalu lalang gelombang elektromagnetik itu di udara, kami (terpaksa) terpisah. Lagi. Meskipun faktanya kami memang sudah benar-benar terpisah, oleh jarak.

Menyedihkan, yah? Iya, tapi kali ini salahku. Entah mengapa, belakangan ini gadget-ku terlalu doyan ngambek dan mati sendiri, seperti mati suri. Aku tahu ini sangat tak masuk akal, tapi tak mengabarinya seharian, aku jelas merasa seperti seorang buronan. Seperti pelarian.

Mataku menerawang sambil memandang keluar jendela, membiarkan pikiranku berimajinasi dengan bayang-bayangmu yang masih saja lekat dikepala. Huh. Entah berapa lama lagi aku bisa berpura-pura lupa... satu jam... dua jam... tiga jam... hingga lima jam.... Aku semakin getir. Air mulai menggemang dengan sendirinya dipelupuk mataku, jatuh membasahi pipiku dan berakhir diujung dagu. Matahari, ah aku rasa kamu bahkan belum tahu arti namamu, yah? Iya, kamu matahari. Tapi andai menemuimu itu semudah aku menemui matahari yang ada dikerajaan langit, aku rasa, aku tak perlu menangis di siang bolong begini....

Ah, bodoh! Barusan aku bilang siang, yah? Sudah hampir pukul dua sekarang. Aku bahkan lupa makan. Yah... kalau kamu ada disini sekarang, pasti pipiku sudah jadi bulan-bulanan. Entah bakal semerah apa oleh cubitan gemas yang membuatku semakin merona malu.

Sayang, sudah delapan jam kita tak saling bertukar kabar. Apakah kamu masih tetap mencariku? Atau malah diam-diam mencari kabar wanita lain diluar sana? Aaaaaahhh matahari, tak bisakah kita saling telepati? Agar aku tak perlu kepayahan memendam kangen sendiri... atau mungkin kamu bahkan sudah tak lagi peduli, tak mau tahu aku masih hidup atau sudah mati?

Dari kekasihmu yang terlalu suka melebih-lebihkan,
Maaf...