Rabu, 05 November 2014

Ketika Awal Berakhir




"Relationships are like glass. Sometimes it’s better to leave them broken than hurt yourself trying to put it back together."
Dear Matahari, yang sinarnya selalu menemani aku, yang katanya tak akan membiarkan bulan mengambil tahtamu...
Tak terasa, sudah satu bulan, yah? Ah! Iya, aku bohong. Bagian mananya yang tak terasa? Sampai detik ini, aku bahkan masih sering mengais sisa-sisa kebersamaan kita, mengenang sambil tetap berpegang teguh pada keputusan. Mengingat, tanpa pernah lupa pada alasan kita terpisahkan.
Apa?
Kenapa?
Bukan itu yang ingin aku bahas disini. Kalau boleh jujur, aku punya puluhan paragraf tentang semua alasan yang kamu pertanyakan. Tentang rasa kecewa, gelisah dan air mata. Tentang bagaimana aku memandangi langit-langit kamarku semalaman, tiba-tiba disergap insomnia dalam lamunan dan dilema yang sama setiap harinya. Keraguan memang tak pernah bisa seutuhnya disembunyikan, tapi dalam perjalanan sebuah hubungan, bukankah bertahan adalah keharusan?
Ada banyak alasan mengapa aku sempat bergeming, mengeluh dalam diam, dan berharap retakan itu akan sembuh dengan sendirinya, seperti sediakala. Ada lebih banyak alasan mengapa aku menolak mengakhiri, karena kehadiran rasa sesal, karena luka yang mungkin saja tergores, atau linangan air mata yang tak sanggup kulihat. Aku sudah cukup lama berlarut-larut, mengantisipasi segala macam resiko, melingkupi diriku dalam tameng sebelum akhirnya keputusan itu diketuk palu. Selesai. Bulat dan tak bisa diganggu gugat.
Dalam kisah ini, mungkin kamulah yang paling tersakiti. Sementara aku, mau tak mau jadi peran antagonis, seorang wanita jahat yang begitu tega melukaimu. Kejam, dan tak berperasaan. Bodoh, sampai cukup idiot untuk menyia-nyiakan ketulusanmu. Yah... kamu punya hak untuk menilai, dan aku punya hak untuk melakukan apa yang kuanggap benar. Kali ini, aku cuma ingin kamu tahu kalau ada beberapa situasi ketika kamu tak bisa lagi pakai hati, apalagi cinta. Terkadang, ada sesuatu yang tak bisa diperbaiki, ada banyak hal yang lebih baik ditinggalkan hancur, daripada menyakiti dirimu sendiri untuk memunguti serpihannya.
Sekarang, melihat isi lini waktumu yang masih penuh emot titik dua petik atas itu rasanya sangat tak adil bagiku. Beberapa kicauan selebtwit, penulis yang hobi galau itu juga berseliweran menohok aku dengan kata-kata yang menyedihkan; entah soal aku yang tak merasakan sakit, atau aku yang sudah latihan bilang cinta ke setiap orang...
Matahari, kita berakhir karena memang tak ada lagi yang bisa dipertahankan, ini sama sekali bukan soal pria lain yang selalu kamu khawatirkan. Tolong jangan terlalu naif dengan menganggapnya sebagai lukamu sendiri. Pisau bermata dua hanya bisa melukai jika salah satu mata pisaunya digenggam, lalu diayunkan ke arahmu. Dan kamu kira menggenggam mata pisau itu tidak melukai aku?
Ini cuma kiasan, Tuan. Aku tahu kamu benci kiasan, sebanyak aku membenci air mata sekarang. Yah, ada begitu banyak hal yang kubenci, tapi salah satunya.... untuk memilih antara bertahan, atau menyerah.




Maaf Matahari,

aku menyerah.

Selasa, 21 Oktober 2014

Biarlah Masa Lalu

Sial! Bukannya aku harusnya bangga, atau tertawa? Tapi reaksi pertamaku cuma melongo, nyaris gemetaran, masih meraba-raba kebenaran dari kalimat yang kubaca barusan. Ah, itu sudah terlalu lama, Tuan. Masa iya baru kamu baca sekarang?


Oke, kamu cukup lihai dan juga cukup bodoh jika baru menemukannya sekarang. Itu. Hampir. Dua. Tahun. Lalu. YaTuhan! Kamu bahkan butuh dua tahun untuk menyadari postingan itu? Tak heran jika aku terkejut, kan? Mau apa kamu lihat-lihat blog-ku sekarang?



Ya, mungkin aku pernah berandai-andai kamu membacanya, sekitar dua tahun lalu, saat pertama kalinya kamu mengenalkanku pada luka, pada hujan air mata. Aku menulisnya sebagai pelampiasan, sebagai ganti jeritan dan makianku yang terbungkam, sebagai balas dendam manis yang memberiku ketenangan. Dan kamu tak tahu, kan, berapa banyak pujian yang kudapat dari tulisan tentang luka yang kamu torehkan? Tulisan itu sebuah senyuman sinis tanda kemenangan. Aku menang melawan tipu dayamu yang curang, aku bangkit dari keterpurukan dan bahkan di elu-elukan! Kamu, lihat? Aku bahkan menjadi lebih baik setelah kamu tinggalkan :p



Pada titik ini, aku tak bisa jadi lebih pamer lagi. Kamu– si masa lalu yang entah mengapa bisa nyasar ke sini, mungkin kamu masih suka mencari-cari kabarku dalam diam. Jadi stalker sosial mediaku dan kembali terperosok kenangan. Haha, ayolah Tuan, sebegitu susahnyakah mengirimiku pesan 'Hai, apa kabar?'.



Pada detik ini, kamu sendiri tahu, tak ada lagi masa lalu yang bisa kugali. Aku sudah kehabisan bahan kenangan, terlalu malas mengobrak-abrik ingatan untuk secuil masa lalu yang hampir tak berbekas. Masa lalu yang mulai kamu bawa lagi ke permukaan...



Yah, laporan pageviews di dashboard blog-ku tak mungkin berbohong. Pengunjung yang biasanya cuma satu-dua selama seminggu, eh, tiba-tiba jadi enam puluh satu dalam sehari? Astaga, Tuan! Itu benar-benar kamu semua? Hufttt. Segitu antusiasnya, yah, kamu membaca cerita tentang dirimu? Dasar narsistik! Padahal aku yakin matamu pegal membaca deretan alinea itu. Aku juga tahu kalau ada beberapa kalimat yang terlalu harfiah, bahkan ada metafora yang barusan membuatku tertawa saat membacanya hehe, maaf, Tuan. Jeritan orang patah hati memang suka tak karuan bunyinya. Wong, hatinya saja berantakan gitu, kok.



Haduhhh, jangan terlalu senang, Tuan. Masa dikatai dan dimaki-maki dalam tulisanku, eh, kamu malah jadi senang? Abis kejedot dimana, Tuan? Sudah pernah ditoyor pakai palu godem, belum?-_- haha begini sajalah, Tuan. Anggap semua tulisanku ini sebagai ucapan terimakasih atas kado 'luka' darimu. Toh, lukaku juga sudah lama sembuh, masih ada luka baru, sih, tapi bukan urusanmu :p



Oh iya, ngomong-ngomong, kamu suka, kan, nama julukanmu? Kalau sempat, kabari aku, ya, soal posting favoritmu. Siapa tahu nama kamu bisa aku cantumkan di sana, kan? :p



Tuan, aku mau titip saran. Lebih baik akhir-akhir ini kamu banyak-banyak berdoa saja, yah. Soalnya Karma lagi beli jet pribadi, nih, biar cepat sampai ke kamu :* hahaha









Dari masa lalu,

Perlukah kucantumkan namamu?

Selasa, 29 Juli 2014

Kamu Harus Tahu

Berawal dari satu emoticon love di sosial media Path yang sekejap membuatku melongo... Ah, bego! Batinku mengumpat dalam hati. Sedetik kemudian, jantungku mulai berdetak tidak karuan, mengalirkan rasa gelisah yang langsung membuat tubuhku gemetar. Apakah aku telah menyakitinya?


Perempuan itu tak bisa kubilang sahabat dekat, kami hanya teman yang pernah melalui hal-hal indah bersama, tapi bukan berarti aku bisa begitu saja menyakitinya. Kami tak pernah punya masalah sebelumnya, beberapa tahun mengenalnya, aku tahu dia bukan tipe perempuan yang punya ribuan alasan untuk dibenci, dia cantik, dan cukup cuek untuk tidak hanya memuji-muji kecantikannya. Aku tak pernah menyangka bahwa posting yang sudah begitu lama itu akan terbaca olehnya, bahkan mungkin membuatnya murka, atau terluka. Sebuah kicauan yang dia tulis sesudahnya menunjukkan kesan sinis yang membuatku semakin merasa bersalah. Seharusnya aku tak pernah mencantumkan link itu pada kicauanku sebelumnya...



Padahal sudah hampir setahun, aku kira sedikit bumbu nostalgia tak akan berdampak apa-apa, tapi ternyata, itu bisa membuat sebagian orang melengos dan mendecak kesal. Apalagi jika masa lalu itu berhubungan erat dengan orang yang dicintainya sekarang. Aku mengerti bagaimana rasanya, aku tahu bagaimana panasnya hatimu, bagaimana perihnya itu terasa dan bagaimana kobaran api amarah itu siap melumat aku; sang penikmat nostalgia.



Memang tak ada yang salah jika kamu cemburu, aku malah akan sangat bertanya-tanya jika kamu sama sekali tak peduli. Aku tahu kamu menyayanginya, dan seratus juta persen dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku sama sekali tak pernah menginginkannya kembali, apalagi berusaha merebutnya darimu.



Kamu tahu aku bukan pencuri. Aku cuma suka mengabadikan masa lalu dalam tulisan, itu saja. Maaf telah membuatmu gerah atas nostalgia yang memang tidak pada tempatnya ini. Aku tidak tahu bahwa sekadar kutipan maaf dan terimakasihku untuknya akan membuatmu sesinis ini. Maaf, tapi harusnya kamu tahu, aku cuma pernah ada di masa lalu. Dan apa yang pernah terjadi di masa lalu, sudah lama ditinggalkan disana. Jauh di masa lalu.



Tolong maafkan kelancanganku yang pernah menulis tentang dia yang (semoga) akan jadi masa depanmu. Kuharap dia tahu, bahwa kamu mencintainya sedalam dia mencintaimu.






Dari temanmu,


yang tak pernah ingin jadi pencuri

Selasa, 06 Mei 2014

Setahun Lalu...

Halo, kamu. Orang yang pertama kali mengucapkan Selamat Ulang Tahun padaku, tahun lalu. Bagaimana kabarmu sekarang? Aku harap kamu baik-baik saja, begitu pula hubunganmu dengan dia, wanita yang sejak dulu selalu kamu sanjung-sanjung. Hmm, bagaimana kuliahmu? Apakah kamu sudah menjadi seorang taruna di Sekolah Tinggi Penerbangan yang menyeramkan itu? Ataukah kamu malah menjadi mahasiswa komunikasi di perguruan tinggi yang pernah kausebut dulu?

Sebelumnya, kuucapkan selamat. Kamu telah melalui jenjang pendidikan yang sebentar lagi (juga) akan kulalui– Sekolah Menengah Atas. Maaf ya, aku tak sempat mengucapkannya secara langsung. Lebih tepatnya... karena bertemu dengan akupun kamu enggan, bukan?

Iya. Kamu lebih banyak menghindar di hari-hari terakhir pertemuan kita, hari-hari dimana akhirnya aku menyadari, kamu terlalu takut untuk menatap aku. Kenapa, Tuan? Apa yang perlu kamu takuti? Takut akan kutampar seperti salah satu candaanku dipesan singkat? Ataukah kamu hanya tak punya cukup keberanian untuk memandang seseorang yang pernah kamu khianati?

Ah, lupakan.

Jadi bagaimana hidupmu sekarang, Tuan? Bahagiakah? Aku harap jawabannya iya, aku harap kamu menjawabnya dengan senyuman lebar yang dulu selalu kamu tunjukkan padaku. Oh ya, bagaimana kabar band-mu? Permainan gitarmu? Ah, kamu pasti sudah semakin mahir memainkan melodi-melodi rumit dalam lagu kesayanganmu dulu– No More Tears dari The Arena band. Band yang ada dalam film favoritmu yang bahkan belum selesai kita tonton.

Bagaimana sosokmu? Semakin tinggi? Atau bertambah gagahkah? Hmm... bagaimana rambutmu? Dipotong cepak seperti kebiasaanmu dulu, atau malah botak karena kewajibanmu sebagai taruna? Ya, seperti apapun modelnya, aku yakin kamu pasti terlihat semakin dewasa. Semakin tua! :p

Bagaimana sifatmu sekarang, Tuan? Masih sering petakilan dan berbuat iseng sendiri? Masih humoris dan semanis dulukah? Ah, kamu pasti sudah jauuuh berbeda sekarang; begitupun aku. Bagaimanakah hidupmu sekarang? Masih menjadi anak mandiri yang hidup serba ribet di kamar kos? Atau sudah hijrah ke Tanggerang dan tinggal bersama kakakmu? Oh iya, apa kabar kartu pelajarku, Tuan? Sudah kaubuangkah? Atau malah kamu jadikan alat pengusir tikus? :|  Hmm, ada dimana kado yang pernah kuberikan? Masih tersimpankah? Terimakasih kalau jawabannya iya. Meskipun terakhir kali aku tahu, barang itu patah, berbarengan dengan hatiku.

Mau tahu satu hal? Aku semakin mancung sekarang :3 hehe iyaaaaaaaaaaaaa iyaaaaaaaa-_- kamu pasti akan membantahku keras-keras jika membaca ini. Memang, aku masih pesek, aneh, dan menyebalkan. Kalau kamu? Masihkah sok mancung seperti dulu?

Hey! Kamu berhutang satu lagu padaku! Kamu juga berjanji akan membaca semua puisi dan cerpen-cerpenku. Kamu berhutang banyak sementara aku sibuk menagih hehe.

Mana film horror yang kamu pilihkan? Janji palsu. Aku malah menonton 'Sinister' sendirian. Bersama bayanganku yang tertutup gelap, dengan kenangan kita yang tak mungkin lagi kau ingat.

Sudah setahun berlalu, Tuan. Bagaimana kabarmu? Kalau aku... aku sudah sangat berbahagia dengan seseorang yang ada disisiku sekarang. Kamu?


Senin, 10 Maret 2014

Relativitas Hati

Terkadang memang begini, ada masalah yang tak ingin kubahas karena ujung-ujungnya tak ada solusi, tetap aku yang kelihatan tak tahu diri; yang salah sendiri. Masalahnya memang sederhana, sampai-sampai aku terlalu bingung menanyakannya. Entah ini aku yang terlalu perasa... atau memang kamu yang tak pernah pakai perasaan?

Awalnya cuma iseng. Hitung-hitung menjahili kamu, dan mencairkan suasana yang semakin panas karena rasa kangen yang terpaksa dipendam sedalam-dalamnya, aku berniat membuatmu tertawa; atau mungkin sekadar tersenyum. Satu... dua... tiga... hingga lima belas pesan kukirim dengan candaan, berharap respon yang sama dan berakhir dengan tertawa bersama. Yaaa mungkin ini kedengaran bodoh, tapi saat kamu yang menjahiliku dengan cara itu, aku tersenyum lebar, tertawa dan benar-benar berbangga karena memilikimu. Tapi ternyata harapan memang tinggal harapan... boro-boro tertawa bersama... yang kudapat malah sebaris kalimat dingin khas orang kesal, dengan dominasi kata 'berisik' yang menjadikannya menusuk hati berdarah-darah.

Sudah kesekian kalinya aku mencoba menjadikan kami dekat, setidaknya cukup merasa dekat untuk berbagi segalanya. Tapi ternyata, rintanganku bukan cuma kacaunya lalu lalang sinyal di udara, tapi juga balasan yang biasanya kelewat tajam, terlalu tajam sampai tak sengaja melukai... atau memang cuma aku yang sensi sendiri?

Entahlah, aku cuma bisa menjadikannya kumpulan paragraf. Terlalu pedih untuk kembali membahasnya dalam forum terbuka antara kamu dan aku. Toh, nanti tetap aku juga yang (lagi-lagi) dianggap berlebihan, bukan? Setiap kali ini kuutarakan, senjatamu hanya kata 'cuma', dan aku benci relativitas karena dalam benakmu, goresan dihatiku itu sesepele kata 'CUMA'!

Harus kubiasakan. Aku kembali menguatkan hatiku yang sudah terseok-seok entah untuk keberapa kalinya, tapi seperti yang baru kukatakan tadi pagi, hatiku tak sekuat ragaku. Ia terlalu lemah...
Dan sekarang kamu hilang. Setahuku ini malam Selasa, bukan hari Rabu atau malam Sabtu seperti biasa kamu berlatih futsal. Tombol endchat sudah kutekan sejak beberapa menit yang lalu. Terlalu menyakitkan untuk melihat huruf R yang tercetak besar tanpa balasan yang tak kunjung datang, yang bahkan tak tahu kapan akan datang.

Aku melipir meninggalkan tab-ku di atas meja, membolak-balik materi Ujian Sekolah Kewarganegaraan yang seharusnya sudah kuhapal di luar kepala. Sekitar satu... dua... tiga menit kemudian tab-ku bergetar, dengan bunyi khas bbm yang mau tak mau memecah konsentrasiku yang memang sudah tak bagus sedari awal. Kamu. Lagi. Entah kenapa hatiku mencelus. Rasa enggan menggelayutiku yang mengetik satu persatu huruf tersebut dengan dingin, dengan mood amburadul hancur lebur acak-acakan.

Aku terpaksa menahan kelopak mataku yang mendadak basah.

Besok Ujian Sekolah dan bisa-bisanya aku menangisi kita?
Ah, dasar makhluk lebay keras kepala...

Kamis, 27 Februari 2014

Belajar(?) Mencontek

"Belajar adalah proses dan nilai adalah hasilnya."

Mengutip pernyataan dari salah seorang guru saya, kalimat ini sukses menggambarkan bagaimana sistematika kerja dunia pendidikan seharusnya. Iya, seharusnya. Tapi pada kenyataannya– tidak. Banyak lembaga pendidikan yang mengesampingkan proses. Mereka lebih peduli pada nilai, lalu mengabaikan hal terpenting yang mestinya ada didunia pendidikan. Proses pembelajaran.

Hal ini pula yang disambut dengan 'sangat baik' oleh para siswa-siswi jaman sekarang. Mengesampingkan proses dan mendewakan nilai, menghasilkan budaya baru yang semakin mendarah daging dalam dunia pendidikan; budaya mencontek. Ya, kalimat ini memang bukan lagi diksi baru dalam lingkup pendidikan. Mencontek seolah napas hidup bagi seorang pelajar, layaknya pahlawan kesiangan yang menyelamatkan mereka dari keterpurukan; yang berakhir dengan kecanduan.

Mencontek layaknya obat terlarang yang menyebabkan pecandunya terjerat. Ketergantungan pada contekan tak hanya membuat mereka kehilangan 'proses belajar', tapi juga menghasilkan luka mental yang tanpa disadari– mereka lakukan sendiri.

"Ah, jawaban gua bener gak ya? Duh... daripada salah mendingan gua nyontek aja," ujar salah seorang siswa yang sdah kecanduan mencontek stadium empat. Terlalu parah.

Iya. Tanpa mereka sadari, sedikit demi sedikit kepercayaan diri mereka terkikis. Tak ada lagi sisa-sisa semangat mereka untuk belajar; boro-boro menghapal. Mencontek layaknya lintah yang menghisap setetes demi setetes semangat itu, yang pada akhirnya bermuara pada satu alasan paling abadi sepanjang masa– pada rasa malas.

Inilah fenomena yang terjadi pada sebagian besar pelajar di negara kita. Fenomena 'kecanduan' contekan yang ternyata lebih menjamur dibandingkan kecanduan obat-obatan terlarang. Ya, terdengar miris memang, betapa tanpa mereka sadari... mereka telah membodohi dirinya sendiri.

Jadi, masihkah kalian percaya pada 'lintah' itu? Yang ternyata telah kalian 'perbolehkan' menghisap seluruh sisa semangat kalian?

Ayolah... contekan tak ubahnya penghianat yang melakukan tipu daya pada sel-sel otakmu, dia menggerogoti setiap inchinya untuk bertahan hidup dan bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Mencontek– walau sekecil apapun itu, sama halnya dengan membiarkan parasit itu menyedot semangatmu untuk berproses, lalu membiarkan kreativitasmu teronggok membusuk, dan mati; bersamaan dengan matinya semangatmu untuk belajar.

Hmmm, belajar mencontek, mungkin?



Kamis, 27 Februari 2014
Ujian Praktek mengarang, Bahasa Indonesia.

Senin, 27 Januari 2014

Kamu Melulu, Masa Lalu

Seharusnya aku tak perlu mengunjungi kantin pada istirahat kedua tadi. Yah, setelah berulang kali mengumpat memaki-maki diri sendiri, aku menyerah. Ternyata memang tak ada bedanya. Kita (terpaksa) kembali dipertemukan, dalam suasana terabsurd yang tak pernah aku perkirakan.


Jika kejadian itu kembali kureka dalam kepala, semuanya sederhana. Aku menuruni tangga sekolahku tanpa prasangka apa-apa, tanpa pernah tahu bahwa aku akan menemukan sosokmu disana, bertopi hitam, baju khas taruna penerbangan yang kau idamkan dan... ah, tunggu! Aku mengenalimu! Sekilas. Meskipun hanya dengan memandangi punggungmu, aku tahu, itu memang kamu. Pria yang sudah lama ini tak mampu terjangkau pandangan mataku.



Ternyata, tak ada pertemuan nyata bukan berarti aku cepat lupa. Sel-sel otakku masih benar-benar mengenali siluet tubuhmu, meski tanpa rambut cepak dan sudah terpapas rapi, meski tanpa seragam putih abu-abu yang jadi identitas diri, aku masih mengenalimu; dalam hitungan detik. Kurang dari sepuluh langkah ke depan, aku berhasil melewati posisimu dengan gerak-gerik 'senormal' mungkin. Iya, segalanya berhasil... sampai kemudian kabar-kabar itu mulai sampai ke telingaku...



"Eh, alumni tahun lalu kan lagi sosialisasi kampus mereka, tuh, ke tiap-tiap kelas. Ada Sinar Alfa juga, loh! Nggak kangen?" Seseorang menegurku dengan nada menggoda.



Aku mengulum senyum masam. "Udah tau," jawabku yang membuat orang itu kembali memberondongku dengan seribu satu macam pertanyaan. Seolah-olah aku dan Sinar Alfa masih terikat hubungan.



"Di luar ada siapa, tuh?"



"Ehem, cieee... cieee ada yang inget masa lalu, nih!"



"Duh, nggak jadi moveon, deh, kalo orangnya nongol lagi. Hahaha..."



Seruan-seruan meledek terdengar dari seisi kelas saat sosok itu melewati kelasku dengan gelagatnya yang khas. Aku mencoba tersenyum, berusaha memungkiri keadaan hatiku yang mendadak pilu. Ahhh, sepedih inikah masa lalu?



***


Bel pulang sekolah sukses mengakhiri pergulatan batinku yang sedaritadi sibuk menepis-nepis kenangan. Aku buru-buru membereskan buku, menggendong tas dan tergesa-gesa meninggalkan kelas. Berusaha menjauh dari sosoknya yang kukira ada di kelas sebelah. Ya... aku kira. Tapi bukannya perkiraan seringkali meleset, ya?



Ditengah hiruk pikuk kendaraan itu aku berulangkali menarik napas lelah. Bus yang kunanti sejak berpuluh-puluh menit lalu masih tak kunjung menampakkan wujudnya. 
Awan berubah menghitam, rintik-rintik hujan mulai menetes membasahiku saat tanpa disengaja, sudut mataku menangkap sosok yang tak asing disana. Diseberang jalan, berlarian menuju halte bus dengan tangan menudungi kepala. Aku terperanjat. Ah, sial! Itu benar-benar kamu!



Aku tak bisa berpura-pura tak peduli. Jantungku bahkan mengerti bahwa kebetulan ini tak bisa ditolerir lagi. Semua terlalu nyata, dan aku benci harus mengakui bahwa aku masih saja memandanginya! Miris memang. Betapa aku hanya bisa bernostalgia dari seberang jalan, berpura-pura tidak menatap sosokmu di kejauhan sambil asyik sendiri mengutak-atik kenangan.



Oke. Aku hampir lupa bahwa saat ini hujan!!! Kurapatkan jaketku, kuambil apapun yang bisa menutupi kepala tanpa berniat sedikitpun untuk beranjak dari tempat ini. Meskipun jarak halte tak sampai lima meter dari tempatku berdiri, aku lebih suka diguyur hujan. Yah... sekaligus hujan kenangan.



Kita berdiri hampir berhadapan, terpisah beberapa meter oleh dua ruas jalan dan sebuah selokan raksasa ditengahnya. Aku masih menerka-nerka kendaraan apa yang akan kamu tumpangi saat kemudian kamu tiba-tiba menghilang, bersamaan dengan melajunya sebuah angkot berwarna biru yang kucurigai berisi kamu didalamnya.



Lalu... selesai. 'Kebetulan' singkat yang sangat menarik. Aku bahkan tak sabar menunggu sampai dirumah untuk bercerita tentang ini, karena pada detik selanjutnya kudapati diriku tengah merogoh-rogoh notes dari dalam tas, mengambil alat tulis, dan membiarkan semua kisah ini mengalir... kisah yang (seharusnya) sudah lama berakhir.



Aku sampai dirumah dengan notes penuh tulisan. Mual yang kudapat seusai perjalanan tadi tidak menyurutkan niatku untuk segera mempostingnya di blog. Tapi ketika aku mengeluarkan tab-ku dari dalam tas, aku melongo. 1 unread message.


From : Sinar Alfa.



Neduh gih di halte, jangan ujan2an ;)
Duluan ya



Deg! Mataku membulat, aku sontak menganga. 
Sinar Alfa? Kamu? YaTuhan! Mungkinkah kisah ini belum benar-benar berakhir?


Ah, kamu melulu, masa lalu...








NB : Tulisan ini diikutsertakan dalam #QuizDy yang diadakan oleh @DyLunaly :)

Rabu, 01 Januari 2014

Selamat Datang, DuaRibuEmpatBelas :)

Hari ini, semua orang terjaga. Ruas-ruas jalan protokol ibukota dipadati kerumunan orang yang punya satu tujuan; menanti tengah malam. Hari ini, langit hitam itu berubah semarak. Suara letusan kembang api dan tiupan terompet menggema diseisi dunia– diwaktu yang berbeda-beda. Menampilkan harmoni dan keindahan tersendiri di bumi kita.

Wajah-wajah sumringah, senyuman cerah dan tawa renyah terdengar begitu akrab ditelinga. Seperti biasa, konvoi besar-besaran, konser gemerlap dan ratusan acara hiburan digelar semewah-mewahnya. Hitung mundur pergantian tahun layaknya detik-detik mendebarkan yang membuat hati berdecak kagum. Kilauan kembang api warna-warni disambut teriakan terpesona penduduk dunia... bahagia...

Dan akhirnya tahun berganti :) Tahun baru. Hari baru. Harapan baru. Tapi kadang juga tak ada yang baru. Semua masih sama, kerumunan orang yang menghasilkan tumpukan sampah, keindahan kembang api yang berbuah polusi dan burung-burung mati. Ya, memang tak ada gunanya resolusi. Semuanya basi.

Ketika tahun baru dirayakan seluar biasa mungkin, saat pergantian tahun terasa begitu memesona... ternyata semua memang tak ada yang berbeda. Semua masih sama. Kesalahan yang sama, kebobrokan dan pola pikir yang lama.

Aku bukannya tak suka perayaan. Aku bahkan mengagumi kembang api, hingar-bingar gemerlapnya kota Jakarta, hingga lautan manusia yang saling bercengkrama. Tapi tidakkah kita pikirkan keadaan Tuan Langit? Bagaimana dengan perasaan Tuan Awan yang setiap tahunnya 'ditembaki' ledakan? Atau terusiknya bintang-bintang oleh gemuruh yang memekakkan?

Tahun baru, tak akan berarti apa-apa. Hanya membuat bumi marah jika diperingati dengan cara yang salah. Hanya akan mengecewakan pohon jika sekadar buang-buang kalender. Terlebih perasaan Tuan Awan; yang dunianya habis dibombardir 'kembang api' semalam.

Kita; manusia, tidak pernah mau tahu. Betapa letusan yang 'indah' itu menyakiti alam, merusak bumi, bahkan mencemari kehidupan kita sendiri. Wajar saja jika alam berontak, bumi merong-rong terbatuk-batuk penuh amarah.

Bumi kita lagi sekarat! Sementara kita malah sibuk merayakannya....


Jadi, perlukah Malaikat Izrail ikut meniup terompet?
Agar
kemeriahan pesta Tahun Baru kita semakin bergemuruh?