Tampilkan postingan dengan label Non Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Non Fiksi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 April 2020

Mon Premier Amour

Hai.

Bonjour.

Salam dariku, wanita yang selalu kehilangan keberanian untuk menyapamu dalam nyata.

Kuucapkan selamat pagi, selamat siang, selamat sore, atau mungkin selamat malam? Aku tidak tahu kapan kamu akan berkesempatan membaca tulisan ini. Entah kalimat macam apa yang harus kupilih untuk memulainya, setidaknya, kuharap sapaan singkat itu mampu membuatmu mengernyitkan dahi, memandangi layar smartphone-mu dengan pandangan antusias dan senyum merekah, seperti biasanya...

Ijinkan aku memperkenalkan diri, Tuan. Namaku Dhea, bukan nama yang terlalu asing jika kamu pernah sedikit saja memperhatikan segelintir orang disekitarmu menyebutkannya. Aku... bisa dibilang pengagum rahasiamu. Wanita yang gemar mencuri-curi pandang ke arahmu dengan getar-getar aneh yang seenaknya menyusup ke dalam hati, yang kata kebanyakan orang— cinta.

Semua terpatri begitu jelas dalam ingatanku... suatu hari di penghujung tahun dua ribu delapan, ketika hujan mengenalkan aku pada aroma petrichor, kita bertemu. Senyummu menyapa aku yang mendadak melongo memandangi wajah asing itu, sementara kamu sibuk berlalu, melewatiku dengan gagah tanpa tahu bahwa kamu baru saja mengguncangkan duniaku! Tepat lima tahun lalu, umurku masih sebelas, masih terlalu bau kencur untuk sekadar mengatakan bahwa aku telah terpesona; terlebih jatuh cinta. Saat itu, aku bahkan tidak tahu siapa namamu, berapa umurmu atau apapun latar belakangmu. Aku cuma terpana, menatapi kepergianmu dengan rasa penasaran yang semakin membuncah dalam dada. Aku harus segera mengenalmu! Sebulan... dua bulan... butuh waktu begitu lama untuk mengetahui bahwa usia kita hanya terpaut beberapa tahun; tak sampai sewindu. Dengan titel mahasiswa di sebuah Universitas Swasta ternama, sosok berkacamata itu tak pernah bisa luput mengundang perhatianku. Gerak-gerikmu yang khas, gaya bicaramu yang unik dan deretan gigi putih yang tampak begitu manis saat tersenyum. Akupun ikut tersenyum, mengagumi kharismamu...

Sayangnya cinta memang tak melulu soal tawa. Di tahun berikutnya, jarak membentang seolah menghadang aku untuk mengagumimu, tapi bukan cinta namanya kalau tak bisa membuatmu tegar. Aku masih tetap mengagumimu dari kejauhan yang bahkan lebih jauh lagi. Akun social media-mu adalah satu-satunya tempat aku melepas rindu, rindu yang semakin berkarat... rindu yang sukarela berkarat agar yang dirindukan semakin sukses di kejauhan.

Lima tahun berlalu sekelebat mata. Kini, aku sudah tumbuh menjadi sosok yang jauh lebih dewasa. Aku bukan lagi bocah ingusan yang percaya bahwa takdir akan menyatukan kita, aku bukan lagi bocah naif yang berharap kisahku akan berakhir dengan "bahagia selamanya", aku mulai menyadari bahwa yang kudambakan selama lima tahun belakangan ini hanyalah khayalan yang harus kuikhlaskan untuk tidak terjadi. Sudah setengah dasawarsa, Tuan. Aku berusaha menyembunyikan segalanya dari dunia, menutup rahasia ini rapat-rapat dan memendam sedalam-dalamnya. Aku pernah percaya bahwa cinta pada pandangan pertama akan berakhir secepat cinta itu berawal, tapi di sinilah aku sekarang... lima tahun kemudian, setelah aku jatuh cinta dan patah hati untuk entah kali keberapa, namun setiap aku mendengar namamu disebut, hatiku mencelus. Rasa yang (seharusnya) sudah kadaluarsa itu kembali bangkit dan merajai hatiku. Setiap kali aku melihat sosokmu... aku kembali jatuh cinta, dan kamu tak tahu, kan, betapa konyolnya jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama?

Sekarang, tepat seribu delapan ratus dua puluh lima hari dari hari bersejarah itu, tempat penuh kenangan ini kembali menyatukan kita dengan khayalan yang tak kunjung jadi kenyataan.

Aku masih tak kasat mata di hadapanmu, dan entah kapan hal itu akan berubah.






Dari pengagum rahasiamu,

yang ingin berhenti merahasiakannya.






Jakarta, 12 Desember 2013.

Rabu, 05 November 2014

Ketika Awal Berakhir




"Relationships are like glass. Sometimes it’s better to leave them broken than hurt yourself trying to put it back together."
Dear Matahari, yang sinarnya selalu menemani aku, yang katanya tak akan membiarkan bulan mengambil tahtamu...
Tak terasa, sudah satu bulan, yah? Ah! Iya, aku bohong. Bagian mananya yang tak terasa? Sampai detik ini, aku bahkan masih sering mengais sisa-sisa kebersamaan kita, mengenang sambil tetap berpegang teguh pada keputusan. Mengingat, tanpa pernah lupa pada alasan kita terpisahkan.
Apa?
Kenapa?
Bukan itu yang ingin aku bahas disini. Kalau boleh jujur, aku punya puluhan paragraf tentang semua alasan yang kamu pertanyakan. Tentang rasa kecewa, gelisah dan air mata. Tentang bagaimana aku memandangi langit-langit kamarku semalaman, tiba-tiba disergap insomnia dalam lamunan dan dilema yang sama setiap harinya. Keraguan memang tak pernah bisa seutuhnya disembunyikan, tapi dalam perjalanan sebuah hubungan, bukankah bertahan adalah keharusan?
Ada banyak alasan mengapa aku sempat bergeming, mengeluh dalam diam, dan berharap retakan itu akan sembuh dengan sendirinya, seperti sediakala. Ada lebih banyak alasan mengapa aku menolak mengakhiri, karena kehadiran rasa sesal, karena luka yang mungkin saja tergores, atau linangan air mata yang tak sanggup kulihat. Aku sudah cukup lama berlarut-larut, mengantisipasi segala macam resiko, melingkupi diriku dalam tameng sebelum akhirnya keputusan itu diketuk palu. Selesai. Bulat dan tak bisa diganggu gugat.
Dalam kisah ini, mungkin kamulah yang paling tersakiti. Sementara aku, mau tak mau jadi peran antagonis, seorang wanita jahat yang begitu tega melukaimu. Kejam, dan tak berperasaan. Bodoh, sampai cukup idiot untuk menyia-nyiakan ketulusanmu. Yah... kamu punya hak untuk menilai, dan aku punya hak untuk melakukan apa yang kuanggap benar. Kali ini, aku cuma ingin kamu tahu kalau ada beberapa situasi ketika kamu tak bisa lagi pakai hati, apalagi cinta. Terkadang, ada sesuatu yang tak bisa diperbaiki, ada banyak hal yang lebih baik ditinggalkan hancur, daripada menyakiti dirimu sendiri untuk memunguti serpihannya.
Sekarang, melihat isi lini waktumu yang masih penuh emot titik dua petik atas itu rasanya sangat tak adil bagiku. Beberapa kicauan selebtwit, penulis yang hobi galau itu juga berseliweran menohok aku dengan kata-kata yang menyedihkan; entah soal aku yang tak merasakan sakit, atau aku yang sudah latihan bilang cinta ke setiap orang...
Matahari, kita berakhir karena memang tak ada lagi yang bisa dipertahankan, ini sama sekali bukan soal pria lain yang selalu kamu khawatirkan. Tolong jangan terlalu naif dengan menganggapnya sebagai lukamu sendiri. Pisau bermata dua hanya bisa melukai jika salah satu mata pisaunya digenggam, lalu diayunkan ke arahmu. Dan kamu kira menggenggam mata pisau itu tidak melukai aku?
Ini cuma kiasan, Tuan. Aku tahu kamu benci kiasan, sebanyak aku membenci air mata sekarang. Yah, ada begitu banyak hal yang kubenci, tapi salah satunya.... untuk memilih antara bertahan, atau menyerah.




Maaf Matahari,

aku menyerah.

Selasa, 21 Oktober 2014

Biarlah Masa Lalu

Sial! Bukannya aku harusnya bangga, atau tertawa? Tapi reaksi pertamaku cuma melongo, nyaris gemetaran, masih meraba-raba kebenaran dari kalimat yang kubaca barusan. Ah, itu sudah terlalu lama, Tuan. Masa iya baru kamu baca sekarang?


Oke, kamu cukup lihai dan juga cukup bodoh jika baru menemukannya sekarang. Itu. Hampir. Dua. Tahun. Lalu. YaTuhan! Kamu bahkan butuh dua tahun untuk menyadari postingan itu? Tak heran jika aku terkejut, kan? Mau apa kamu lihat-lihat blog-ku sekarang?



Ya, mungkin aku pernah berandai-andai kamu membacanya, sekitar dua tahun lalu, saat pertama kalinya kamu mengenalkanku pada luka, pada hujan air mata. Aku menulisnya sebagai pelampiasan, sebagai ganti jeritan dan makianku yang terbungkam, sebagai balas dendam manis yang memberiku ketenangan. Dan kamu tak tahu, kan, berapa banyak pujian yang kudapat dari tulisan tentang luka yang kamu torehkan? Tulisan itu sebuah senyuman sinis tanda kemenangan. Aku menang melawan tipu dayamu yang curang, aku bangkit dari keterpurukan dan bahkan di elu-elukan! Kamu, lihat? Aku bahkan menjadi lebih baik setelah kamu tinggalkan :p



Pada titik ini, aku tak bisa jadi lebih pamer lagi. Kamu– si masa lalu yang entah mengapa bisa nyasar ke sini, mungkin kamu masih suka mencari-cari kabarku dalam diam. Jadi stalker sosial mediaku dan kembali terperosok kenangan. Haha, ayolah Tuan, sebegitu susahnyakah mengirimiku pesan 'Hai, apa kabar?'.



Pada detik ini, kamu sendiri tahu, tak ada lagi masa lalu yang bisa kugali. Aku sudah kehabisan bahan kenangan, terlalu malas mengobrak-abrik ingatan untuk secuil masa lalu yang hampir tak berbekas. Masa lalu yang mulai kamu bawa lagi ke permukaan...



Yah, laporan pageviews di dashboard blog-ku tak mungkin berbohong. Pengunjung yang biasanya cuma satu-dua selama seminggu, eh, tiba-tiba jadi enam puluh satu dalam sehari? Astaga, Tuan! Itu benar-benar kamu semua? Hufttt. Segitu antusiasnya, yah, kamu membaca cerita tentang dirimu? Dasar narsistik! Padahal aku yakin matamu pegal membaca deretan alinea itu. Aku juga tahu kalau ada beberapa kalimat yang terlalu harfiah, bahkan ada metafora yang barusan membuatku tertawa saat membacanya hehe, maaf, Tuan. Jeritan orang patah hati memang suka tak karuan bunyinya. Wong, hatinya saja berantakan gitu, kok.



Haduhhh, jangan terlalu senang, Tuan. Masa dikatai dan dimaki-maki dalam tulisanku, eh, kamu malah jadi senang? Abis kejedot dimana, Tuan? Sudah pernah ditoyor pakai palu godem, belum?-_- haha begini sajalah, Tuan. Anggap semua tulisanku ini sebagai ucapan terimakasih atas kado 'luka' darimu. Toh, lukaku juga sudah lama sembuh, masih ada luka baru, sih, tapi bukan urusanmu :p



Oh iya, ngomong-ngomong, kamu suka, kan, nama julukanmu? Kalau sempat, kabari aku, ya, soal posting favoritmu. Siapa tahu nama kamu bisa aku cantumkan di sana, kan? :p



Tuan, aku mau titip saran. Lebih baik akhir-akhir ini kamu banyak-banyak berdoa saja, yah. Soalnya Karma lagi beli jet pribadi, nih, biar cepat sampai ke kamu :* hahaha









Dari masa lalu,

Perlukah kucantumkan namamu?

Senin, 27 Januari 2014

Kamu Melulu, Masa Lalu

Seharusnya aku tak perlu mengunjungi kantin pada istirahat kedua tadi. Yah, setelah berulang kali mengumpat memaki-maki diri sendiri, aku menyerah. Ternyata memang tak ada bedanya. Kita (terpaksa) kembali dipertemukan, dalam suasana terabsurd yang tak pernah aku perkirakan.


Jika kejadian itu kembali kureka dalam kepala, semuanya sederhana. Aku menuruni tangga sekolahku tanpa prasangka apa-apa, tanpa pernah tahu bahwa aku akan menemukan sosokmu disana, bertopi hitam, baju khas taruna penerbangan yang kau idamkan dan... ah, tunggu! Aku mengenalimu! Sekilas. Meskipun hanya dengan memandangi punggungmu, aku tahu, itu memang kamu. Pria yang sudah lama ini tak mampu terjangkau pandangan mataku.



Ternyata, tak ada pertemuan nyata bukan berarti aku cepat lupa. Sel-sel otakku masih benar-benar mengenali siluet tubuhmu, meski tanpa rambut cepak dan sudah terpapas rapi, meski tanpa seragam putih abu-abu yang jadi identitas diri, aku masih mengenalimu; dalam hitungan detik. Kurang dari sepuluh langkah ke depan, aku berhasil melewati posisimu dengan gerak-gerik 'senormal' mungkin. Iya, segalanya berhasil... sampai kemudian kabar-kabar itu mulai sampai ke telingaku...



"Eh, alumni tahun lalu kan lagi sosialisasi kampus mereka, tuh, ke tiap-tiap kelas. Ada Sinar Alfa juga, loh! Nggak kangen?" Seseorang menegurku dengan nada menggoda.



Aku mengulum senyum masam. "Udah tau," jawabku yang membuat orang itu kembali memberondongku dengan seribu satu macam pertanyaan. Seolah-olah aku dan Sinar Alfa masih terikat hubungan.



"Di luar ada siapa, tuh?"



"Ehem, cieee... cieee ada yang inget masa lalu, nih!"



"Duh, nggak jadi moveon, deh, kalo orangnya nongol lagi. Hahaha..."



Seruan-seruan meledek terdengar dari seisi kelas saat sosok itu melewati kelasku dengan gelagatnya yang khas. Aku mencoba tersenyum, berusaha memungkiri keadaan hatiku yang mendadak pilu. Ahhh, sepedih inikah masa lalu?



***


Bel pulang sekolah sukses mengakhiri pergulatan batinku yang sedaritadi sibuk menepis-nepis kenangan. Aku buru-buru membereskan buku, menggendong tas dan tergesa-gesa meninggalkan kelas. Berusaha menjauh dari sosoknya yang kukira ada di kelas sebelah. Ya... aku kira. Tapi bukannya perkiraan seringkali meleset, ya?



Ditengah hiruk pikuk kendaraan itu aku berulangkali menarik napas lelah. Bus yang kunanti sejak berpuluh-puluh menit lalu masih tak kunjung menampakkan wujudnya. 
Awan berubah menghitam, rintik-rintik hujan mulai menetes membasahiku saat tanpa disengaja, sudut mataku menangkap sosok yang tak asing disana. Diseberang jalan, berlarian menuju halte bus dengan tangan menudungi kepala. Aku terperanjat. Ah, sial! Itu benar-benar kamu!



Aku tak bisa berpura-pura tak peduli. Jantungku bahkan mengerti bahwa kebetulan ini tak bisa ditolerir lagi. Semua terlalu nyata, dan aku benci harus mengakui bahwa aku masih saja memandanginya! Miris memang. Betapa aku hanya bisa bernostalgia dari seberang jalan, berpura-pura tidak menatap sosokmu di kejauhan sambil asyik sendiri mengutak-atik kenangan.



Oke. Aku hampir lupa bahwa saat ini hujan!!! Kurapatkan jaketku, kuambil apapun yang bisa menutupi kepala tanpa berniat sedikitpun untuk beranjak dari tempat ini. Meskipun jarak halte tak sampai lima meter dari tempatku berdiri, aku lebih suka diguyur hujan. Yah... sekaligus hujan kenangan.



Kita berdiri hampir berhadapan, terpisah beberapa meter oleh dua ruas jalan dan sebuah selokan raksasa ditengahnya. Aku masih menerka-nerka kendaraan apa yang akan kamu tumpangi saat kemudian kamu tiba-tiba menghilang, bersamaan dengan melajunya sebuah angkot berwarna biru yang kucurigai berisi kamu didalamnya.



Lalu... selesai. 'Kebetulan' singkat yang sangat menarik. Aku bahkan tak sabar menunggu sampai dirumah untuk bercerita tentang ini, karena pada detik selanjutnya kudapati diriku tengah merogoh-rogoh notes dari dalam tas, mengambil alat tulis, dan membiarkan semua kisah ini mengalir... kisah yang (seharusnya) sudah lama berakhir.



Aku sampai dirumah dengan notes penuh tulisan. Mual yang kudapat seusai perjalanan tadi tidak menyurutkan niatku untuk segera mempostingnya di blog. Tapi ketika aku mengeluarkan tab-ku dari dalam tas, aku melongo. 1 unread message.


From : Sinar Alfa.



Neduh gih di halte, jangan ujan2an ;)
Duluan ya



Deg! Mataku membulat, aku sontak menganga. 
Sinar Alfa? Kamu? YaTuhan! Mungkinkah kisah ini belum benar-benar berakhir?


Ah, kamu melulu, masa lalu...








NB : Tulisan ini diikutsertakan dalam #QuizDy yang diadakan oleh @DyLunaly :)