Rabu, 05 November 2014

Ketika Awal Berakhir




"Relationships are like glass. Sometimes it’s better to leave them broken than hurt yourself trying to put it back together."
Dear Matahari, yang sinarnya selalu menemani aku, yang katanya tak akan membiarkan bulan mengambil tahtamu...
Tak terasa, sudah satu bulan, yah? Ah! Iya, aku bohong. Bagian mananya yang tak terasa? Sampai detik ini, aku bahkan masih sering mengais sisa-sisa kebersamaan kita, mengenang sambil tetap berpegang teguh pada keputusan. Mengingat, tanpa pernah lupa pada alasan kita terpisahkan.
Apa?
Kenapa?
Bukan itu yang ingin aku bahas disini. Kalau boleh jujur, aku punya puluhan paragraf tentang semua alasan yang kamu pertanyakan. Tentang rasa kecewa, gelisah dan air mata. Tentang bagaimana aku memandangi langit-langit kamarku semalaman, tiba-tiba disergap insomnia dalam lamunan dan dilema yang sama setiap harinya. Keraguan memang tak pernah bisa seutuhnya disembunyikan, tapi dalam perjalanan sebuah hubungan, bukankah bertahan adalah keharusan?
Ada banyak alasan mengapa aku sempat bergeming, mengeluh dalam diam, dan berharap retakan itu akan sembuh dengan sendirinya, seperti sediakala. Ada lebih banyak alasan mengapa aku menolak mengakhiri, karena kehadiran rasa sesal, karena luka yang mungkin saja tergores, atau linangan air mata yang tak sanggup kulihat. Aku sudah cukup lama berlarut-larut, mengantisipasi segala macam resiko, melingkupi diriku dalam tameng sebelum akhirnya keputusan itu diketuk palu. Selesai. Bulat dan tak bisa diganggu gugat.
Dalam kisah ini, mungkin kamulah yang paling tersakiti. Sementara aku, mau tak mau jadi peran antagonis, seorang wanita jahat yang begitu tega melukaimu. Kejam, dan tak berperasaan. Bodoh, sampai cukup idiot untuk menyia-nyiakan ketulusanmu. Yah... kamu punya hak untuk menilai, dan aku punya hak untuk melakukan apa yang kuanggap benar. Kali ini, aku cuma ingin kamu tahu kalau ada beberapa situasi ketika kamu tak bisa lagi pakai hati, apalagi cinta. Terkadang, ada sesuatu yang tak bisa diperbaiki, ada banyak hal yang lebih baik ditinggalkan hancur, daripada menyakiti dirimu sendiri untuk memunguti serpihannya.
Sekarang, melihat isi lini waktumu yang masih penuh emot titik dua petik atas itu rasanya sangat tak adil bagiku. Beberapa kicauan selebtwit, penulis yang hobi galau itu juga berseliweran menohok aku dengan kata-kata yang menyedihkan; entah soal aku yang tak merasakan sakit, atau aku yang sudah latihan bilang cinta ke setiap orang...
Matahari, kita berakhir karena memang tak ada lagi yang bisa dipertahankan, ini sama sekali bukan soal pria lain yang selalu kamu khawatirkan. Tolong jangan terlalu naif dengan menganggapnya sebagai lukamu sendiri. Pisau bermata dua hanya bisa melukai jika salah satu mata pisaunya digenggam, lalu diayunkan ke arahmu. Dan kamu kira menggenggam mata pisau itu tidak melukai aku?
Ini cuma kiasan, Tuan. Aku tahu kamu benci kiasan, sebanyak aku membenci air mata sekarang. Yah, ada begitu banyak hal yang kubenci, tapi salah satunya.... untuk memilih antara bertahan, atau menyerah.




Maaf Matahari,

aku menyerah.

3 komentar: