Sabtu, 14 September 2013

Benarkah Cinta Tak Harus Memiliki?



Anggap saja ini curhatan. Letupan dari sebagian jeritan hatiku yang masih terbungkam. Sekeping kisah yang masih saja terselip di masa lalu, yang tak ingin kubawa secuilpun ke masa depan. Ini tentang cinta. Yah, memangnya apalagi yang bisa membuatmu menunggu walau begitu terluka? Ini tentang kesetiaan semu. Tentang cinta yang hanya bisa kusampaikan lewat binar-binar ketulusan dimataku. Tentang sosok yang hanya mampu kuraih lewat lengan doa, selain dalam buai-buai mimpi yang tak kunjung menjadi nyata.


Khayalku begitu terlatih merangkai namamu. Membiaskan pahatan demi pahatan wajah berkharisma yang dalam sekedip mata sudah begitu sukses merajai anganku. Sosok dengan senyuman manis, tubuh tegap dan nada bicara yang selalu terngiang-ngiang didalam hati. Aku menjulukinya sang pencuri. Sang perampas hati yang melucuti logika korbannya dengan kalimat manis yang menebarkan harap; yang berbuah tangis. 


Salahkah aku? Bukan aku yang meminta desir aneh saat kita saling bertatap. Semuanya terjadi tanpa kureka-reka, semuanya berakhir tanpa kusangka-sangka. Aku cuma suka mengagumimu. Menemani hari-harimu… dulu. Menatap diam-diam sosokmu dari suatu kejauhan bernama jarak. Sekarang. Dari tempatku berdiri, dari tempatmu bercengkrama manis dengan kekasih barumu. 


Aku tak lagi begitu bisa menggapaimu. Seperti dulu kita saling bercerita, seperti beberapa bulan lalu kita saling mencinta. Ah, mungkin itu hanya sebagian dari imajinasi khayalku. Aku yang terlalu menjunjung tinggi ketulusan cinta. Tanpa pernah meminta, apalagi terucap. 


Semua hanya tertuang dalam syair. Dalam beribu untaian puisi yang selalu saja kutujukan padamu. Masih untukmu. Entah berapa banyak paragraf dan suku kata yang melukiskan rasa ini. Rasa yang menyembul perlahan dari keterbiasaan. Dari begitu banyak detik yang kita bagi bersama, dalam senyuman yang dulu kuanggap bukan apa-apa. Boro-boro cinta. 


Kita memang tak pernah benar-benar menjadi kita. Aku dan kamu hanya saling bertemu, bertatap dan berbagi cerita; bukan rasa cinta. Aku sama sekali tak bisa menyampaikannya, terlebih ketika dawai gitar itu mulai kamu petik, melantunkan melodi Lagu Rindu yang menyeruak sampai ke telingaku. Bahkan menyentuh tepat dihatinya.


"Lagu rindu ini kuciptakan
Hanya untuk bidadari hatiku tercinta
Walau hanya nada sederhana
Ijinkan kuungkap segenap rasa dan kerinduan..." 



Kamu mengakhiri bait itu dengan senyuman dan tatapan lembut yang jatuh dikedua bola mataku. Aku spontan terkejut, mulai salah tingkah saat akhirnya kamu malah berkata,

"Ikut nyanyi dong! Masa aku sendirian...."

Ah! Aku berdecak, tapi mau tidak mau, aku mengangguk. 

Dan haripun berlanjut seperti biasa. Kamu menjemputku dirumah, aku menemanimu berlatih gitar, makan di warung padang kesukaanmu dan menunggumu di kelas musik. Semua terjadi begitu saja. Dengan keterbiasaan, tanpa paksaan dan ternyata… tanpa tujuan. 


Suatu hari di minggu ketiga bulan Agustus. Aku menunggumu selama berjam-jam. Cardigan tebal yang tadinya kukenakan bahkan sudah kulempar sembarangan di atas sofa, dahiku berkerut. Tiga jam sudah aku menunggu bel pintu berbunyi, tapi bahkan suara motormupun belum terdengar. Kurogoh handphoneku dan kembali kuhubungi nomor yang sudah kuhapal di luar kepala itu. Mail box. Handphonemu masih dalam keadaan mati, seperti beberapa saat lalu. 



Dan tiba-tiba semuanya sirna. Kamu menghilang dan rutinitasku tak lagi sama. Tak ada lagi bunyi klakson motormu yang tak sabar menungguiku di depan gerbang. Tak ada lagi duet-duet indah yang selalu saja kutunggu-tunggu. Tak ada lagi kamu. Apalagi kita. 



Sekarang, belum genap sebulan setelah semuanya terjadi. Kamu bahkan seakan tak pernah mengenalku, kamu berlalu disisiku dengan wanita baru dalam genggamanmu, tersenyum manis kepadanya layaknya tak pernah ada aku. Pada akhirnya, kisah kita hanyalah dongeng. Cerita yang bahkan masih aku ragukan realitanya. Kita berakhir. Satu kosong. Hatiku terampas sementara hatimu masih padanya. Pada wanita barumu. Yah, sudahlah… bukannya cinta memang tak harus memiliki? 



Ah, jangan percaya bualanku. Itu hanya sebaris kalimat yang sering kupakai untuk menghibur diri. Karena sebenarnya, cinta itu tumbuh dari rasa memiliki, dari kebersamaan yang menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan. Sekarang, bagaimana aku bisa mencintaimu? Jika melihat batang hidungmu saja aku terluka, jika bahkan sekadar mengenang kita saja aku tak bisa. Yah, andai kamu tahu, aku mulai lelah mencintai dia yang dimiliki oleh orang lain. Apalagi... tetap berpura-pura tidak tersakiti karenanya.





with love,

Dedicated for, Anonim.

Selamat berusaha melupakan yah!

Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik daripada dia ;)