Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 September 2013

Benarkah Cinta Tak Harus Memiliki?



Anggap saja ini curhatan. Letupan dari sebagian jeritan hatiku yang masih terbungkam. Sekeping kisah yang masih saja terselip di masa lalu, yang tak ingin kubawa secuilpun ke masa depan. Ini tentang cinta. Yah, memangnya apalagi yang bisa membuatmu menunggu walau begitu terluka? Ini tentang kesetiaan semu. Tentang cinta yang hanya bisa kusampaikan lewat binar-binar ketulusan dimataku. Tentang sosok yang hanya mampu kuraih lewat lengan doa, selain dalam buai-buai mimpi yang tak kunjung menjadi nyata.


Khayalku begitu terlatih merangkai namamu. Membiaskan pahatan demi pahatan wajah berkharisma yang dalam sekedip mata sudah begitu sukses merajai anganku. Sosok dengan senyuman manis, tubuh tegap dan nada bicara yang selalu terngiang-ngiang didalam hati. Aku menjulukinya sang pencuri. Sang perampas hati yang melucuti logika korbannya dengan kalimat manis yang menebarkan harap; yang berbuah tangis. 


Salahkah aku? Bukan aku yang meminta desir aneh saat kita saling bertatap. Semuanya terjadi tanpa kureka-reka, semuanya berakhir tanpa kusangka-sangka. Aku cuma suka mengagumimu. Menemani hari-harimu… dulu. Menatap diam-diam sosokmu dari suatu kejauhan bernama jarak. Sekarang. Dari tempatku berdiri, dari tempatmu bercengkrama manis dengan kekasih barumu. 


Aku tak lagi begitu bisa menggapaimu. Seperti dulu kita saling bercerita, seperti beberapa bulan lalu kita saling mencinta. Ah, mungkin itu hanya sebagian dari imajinasi khayalku. Aku yang terlalu menjunjung tinggi ketulusan cinta. Tanpa pernah meminta, apalagi terucap. 


Semua hanya tertuang dalam syair. Dalam beribu untaian puisi yang selalu saja kutujukan padamu. Masih untukmu. Entah berapa banyak paragraf dan suku kata yang melukiskan rasa ini. Rasa yang menyembul perlahan dari keterbiasaan. Dari begitu banyak detik yang kita bagi bersama, dalam senyuman yang dulu kuanggap bukan apa-apa. Boro-boro cinta. 


Kita memang tak pernah benar-benar menjadi kita. Aku dan kamu hanya saling bertemu, bertatap dan berbagi cerita; bukan rasa cinta. Aku sama sekali tak bisa menyampaikannya, terlebih ketika dawai gitar itu mulai kamu petik, melantunkan melodi Lagu Rindu yang menyeruak sampai ke telingaku. Bahkan menyentuh tepat dihatinya.


"Lagu rindu ini kuciptakan
Hanya untuk bidadari hatiku tercinta
Walau hanya nada sederhana
Ijinkan kuungkap segenap rasa dan kerinduan..." 



Kamu mengakhiri bait itu dengan senyuman dan tatapan lembut yang jatuh dikedua bola mataku. Aku spontan terkejut, mulai salah tingkah saat akhirnya kamu malah berkata,

"Ikut nyanyi dong! Masa aku sendirian...."

Ah! Aku berdecak, tapi mau tidak mau, aku mengangguk. 

Dan haripun berlanjut seperti biasa. Kamu menjemputku dirumah, aku menemanimu berlatih gitar, makan di warung padang kesukaanmu dan menunggumu di kelas musik. Semua terjadi begitu saja. Dengan keterbiasaan, tanpa paksaan dan ternyata… tanpa tujuan. 


Suatu hari di minggu ketiga bulan Agustus. Aku menunggumu selama berjam-jam. Cardigan tebal yang tadinya kukenakan bahkan sudah kulempar sembarangan di atas sofa, dahiku berkerut. Tiga jam sudah aku menunggu bel pintu berbunyi, tapi bahkan suara motormupun belum terdengar. Kurogoh handphoneku dan kembali kuhubungi nomor yang sudah kuhapal di luar kepala itu. Mail box. Handphonemu masih dalam keadaan mati, seperti beberapa saat lalu. 



Dan tiba-tiba semuanya sirna. Kamu menghilang dan rutinitasku tak lagi sama. Tak ada lagi bunyi klakson motormu yang tak sabar menungguiku di depan gerbang. Tak ada lagi duet-duet indah yang selalu saja kutunggu-tunggu. Tak ada lagi kamu. Apalagi kita. 



Sekarang, belum genap sebulan setelah semuanya terjadi. Kamu bahkan seakan tak pernah mengenalku, kamu berlalu disisiku dengan wanita baru dalam genggamanmu, tersenyum manis kepadanya layaknya tak pernah ada aku. Pada akhirnya, kisah kita hanyalah dongeng. Cerita yang bahkan masih aku ragukan realitanya. Kita berakhir. Satu kosong. Hatiku terampas sementara hatimu masih padanya. Pada wanita barumu. Yah, sudahlah… bukannya cinta memang tak harus memiliki? 



Ah, jangan percaya bualanku. Itu hanya sebaris kalimat yang sering kupakai untuk menghibur diri. Karena sebenarnya, cinta itu tumbuh dari rasa memiliki, dari kebersamaan yang menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan. Sekarang, bagaimana aku bisa mencintaimu? Jika melihat batang hidungmu saja aku terluka, jika bahkan sekadar mengenang kita saja aku tak bisa. Yah, andai kamu tahu, aku mulai lelah mencintai dia yang dimiliki oleh orang lain. Apalagi... tetap berpura-pura tidak tersakiti karenanya.





with love,

Dedicated for, Anonim.

Selamat berusaha melupakan yah!

Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik daripada dia ;)

Rabu, 07 Agustus 2013

Dua Bulan Setelah Penghianatanmu

Selamat bertemu lagi, Sinar Alfa :) Waktu berlalu begitu cepat yah? Sudah dua bulan aku menjalani semuanya tanpa sedikitpun rasa kepedulianmu. Ya.... entahlah. Entah kamu masih mengingat wanita bodoh sepertiku atau tidak. Setidaknya, aku masih sanggup untuk berpura-pura tak peduli.
Apa kabar? Kalau aku, aku masih baik-baik saja. Semuanya tak ada yang berubah, hari-hariku masih sama. Sekolah, mengerjakan tugas, ulangan, tertawa dan menangis. Semua masih sama. Namamu bahkan masih sangat sering kudengar disetiap sendi-sendi kehidupanku. Mereka masih saja seringkali menyangkutpautkan aku dan kamu. Mereka masih gemar mencandakan namamu di hadapanku, mengingatkan aku padamu.
Yah bukan sepenuhnya salah mereka, bukannya setahu mereka kita masih bersama? Iya, kebahagiaan kita memang sempat terasa nyata. Dulu. Aku sempat sepenuhnya mempercayai kamu. Mempercayai kita. Dulu. Tapi jika semua memang benar-benar pernah nyata, mengapa ini berakhir layaknya memberhentikan sebuah permainan, Tuan? Berhenti dan selesai. Semudah inikah?
Padahal seingatku kemarin masih sempurna. Aku masih tersenyum bersama kamu disisiku, aku masih tertawa mendengar celotehan manismu tentang hidup. Tentang aku yang terlalu ketakutan saat kamu tunjukkan keadaan calon taruna STPI, tentang kamu yang selalu mencubit gemas hidungku sambil menyerukan 'pesek pesek pesek' ke seluruh dunia. Tentang kita yang tak pernah habis bercerita satu sama lain. Tentang lagu yang kita bagi bersama. Tentang berjam-jam yang pernah kita habiskan dengan canggung dan manis. Semudah inikah terlupakan? Ah aku salut! Aku bahkan tak kuat untuk menahan tangis saat menulis ini. Mengenangmu, menjadi candu.
Ingatkah kamu tentang berjam-jam yang kita habiskan dibawah langit malam itu? Apakah kamu ingat dengan percakapan sederhana kita? Pengalaman hidup yang membuatmu trauma, lembar jawaban ujian sekolahmu yang nyaris robek, listening section-mu yang berantakan, bandmu yang luar biasa menakjubkan, rekaman permainan gitarmu, kecintaanmu pada rubik dan meme comic. Semuanya, aku masih ingat semuanya.
Apa kamu masih ingat dengan beberapa janjimu yang belum sempat terwujud? Apakah kamu masih ingat dengan kata-kata yang pernah aku harapkan akan meluncur dari bibirmu? Tidak? Ah sayang sekali, aku masih ingat.
Kamu tahu? Aku sengaja tidak menonton kelanjutan film 'kita'. Aku hanya mau menontonnya denganmu, disampingmu. Aku sengaja menulis banyak kisah hidupku, untuk terbaca kamu, untuk terbaca kita. Tapi apa? Semua cuma sekadar janji. Cuma sebaris kata-kata yang sudah tak mungkin lagi akan terwujudkan.
Maaf jika tulisanku tak berkenan untuk terbaca kamu, Sinar Alfa. Diksiku mulai berantakan sejak dua bulan lalu. Sejak hatiku mulai retak, hancur berceceran dan sulit kubenahi. Maaf, ini cuma beberapa paragraf usang yang kutulis dengan kenangan yang sudah sangat kadaluarsa. Lagi-lagi, aku masih mengingat kamu.
Terimakasih, Tuan :) Terimakasih atas senyuman yang pernah kamu bagi bersamaku. Terimakasih atas semua kehangatan yang pernah aku rasakan dalam dekapanmu. Aku (tentu saja) akan merindukanmu kelak. Nanti, suatu ketika. Nanti, saat kita sudah sama-sama menggenggam dunia.
Selamat tinggal, Tuan :) semoga saja (setidaknya) kamu pernah mengingatku sesekali.

Tertanda,
dari seseorang yang pernah kamu panggil sayang.
dari seseorang yang pernah menganggapmu dunianya.
Aku :)




Minggu, 21 Juli 2013

Kita dan Kenangan :')

Pertama kali aku melihatnya, tak sekalipun aku mengira bahwa lelaki itu akan menjadi bagian penting dari hidupku.
Dia hanyalah seorang lelaki biasa yang datang dengan senyuman, meski tanpa kusadari betapa senyumannya itu akan meluluhlantakkan duniaku.
Dia hanyalah seorang lelaki biasa yang menyapaku dengan candaannya.
Tak ada yang istimewa darinya. Hanya saja jika tanpa dia... duniaku tak ada artinya!

***

Halo kamu :) Maafkan diksi puisiku yang kurang sempurna, akhirnya kita bertemu lagi. Bagaimanakah kabarmu? Apakah kamu ingat tanggal berapa sekarang, Prince Jutekku? Ah, kamu pasti lupa. Setahun lalu, 21 juli 2012. Awal yang sederhana, hanya sebatas teman yang kukagumi sifatnya. Misterius. Justru itulah kelebihan sosokmu. Dengan senyuman manis dan berbagai kekonyolanmu, semua berubah. Menyusun setiap fragmen kenangan indah yang terkadang kunikmati sendiri. Entah denganmu.

Bolehkah kuceritakan awal kisah ini? Gurauan sederhana yang tak terpungkiri membuatku tersenyum. Rangkaian kata-kata manis yang kita lontarkan bergantian tak jarang membuatku tersipu. Tersenyum bahagia. Ah, entahlah... Dulu kita sangat nyaman dengan ketidakjelasan ini. Dengan tanpa janji dan ikatan, kita tertawa bersama. Saling bertukar lelucon dan cerita aneh yang membuatku semakin mengenalmu, pangeranku.

Sosok cuek itu mulai bertransformasi menjadi pria manis yang penuh perhatian. Jelas saja aku tersanjung, diperlakukan bagai putri dan dipanggil bidadari. Betapa bahagianya saat-saat itu, ya, meski tanpa status.

Dulu, saat masih ada kamu, aku seringkali menatap layar handphoneku dengan senyum kecil. Membaca berbagai panggilan menggemaskan yang kamu tujukan untukku. Dulu. Disaat semua terasa manis.

Detik bergulir dan waktu berganti, sudah hampir setengah tahun berlalu semenjak kisah ini dimulai. Percakapan manis kita mulai tergerus rasa bosan, dan pangeranku yang dulu mengagumkan entah menguap hilang kemana.

Terang saja, aku takut kehilangan. Setiap kali dia ucapkan kata tenang, hatiku bergejolak. Aku tak ingin figur mempesona ini pergi, apalagi ketika hatiku memintanya bertahan. Tapi nyatanya, setiap detik yang berlalu membuat kita terpisah semakin jauh. Aku mulai tak lagi mengenalmu; kamu yang sekarang, kamu yang mulai berubah jadi kenangan.

21 juli 2012. Mungkin hanya sekadar angka tak bermakna bagimu. Ya biarlah, aku tak mungkin marah. Tak ada kata sesal, bukan? Untuk apa menyesali sesuatu yang membuatku bahagia? Menyesali kamu?

Sosok cuek yang memperhatikan setiap detail. Penggemar futsal dan pecinta Los Blancos sejati. Penyuka warna putih yang tak bisa hidup tanpa bola. Jutek. Dingin. Dan manis.
Maaf, jika sedikit saja kau luangkan waktu untuk membaca tulisan ini. Aku yakin kamu akan bosan, merasa gerah dengan aku yang gemar memutar kenangan. Tapi sudahlah... Kenangan manis kadang tak selamanya diingat, bukan?
Terimakasih kamu ;) pangeran jutek yang menyebalkan, penderita insomnia yang tak bisa berhenti mengataiku bawel.

Selamat tanggal 21 juli, Kamu. Masih ingin membuat cerita tentang kita? :p

Minggu, 30 Juni 2013

Delapan Bulan; Sebelas Hari

Bum! Semuanya hancur. Air mataku bahkan belum benar-benar mengering dari sisa tangisku semalam. Mataku sembab, pipiku basah dan hidungku berair. Aku menulis ini saat aku tak tahu lagi harus kukemanakan rasa sakitku. Aku menulisnya ketika hatiku mulai berkeping-keping dan terlalu sulit untuk kubenahi. Butiran bening itu sukses mengalir dipipiku, menetes keatas kertas tempat aku menuangkan semua luka dan pedih yang melandaku akhir-akhir ini. Semenjak seminggu lalu, semuanya berakhir. Dalam arti yang sebenarnya.

Kamu. Iya, kamu begitu mudah mengakhirinya.Mengucapkan kata pisah ketika aku masih cinta-cintanya. Memilih pergi saat bahkan aku terang-terangan meminta kamu kembali. Dimana hatimu, Sayang? Kamu kemanakan perasaan yang katanya cinta itu? Dulu, kamulah segalanya. Dulu, akulah segalamu.... Tapi apa? Kenapa kamu tetap memilih pergi?

5 Oktober 2012. Traktiran seorang sahabat mengubah hidupku seutuhnya. Masih kau ingatkah? Saat itu, kamu cuma sosok asing yang menerobos masuk dalam hidupku dengan sekenanya. Terjebak diwaktu dan tempat yang sama, berbarengan memasuki rumah hantu itu dan keluar dengan perasaan yang mulai tumbuh tanpa kuharapkan. Aku mulai menyukaimu.

Seminggu kemudian, tak butuh waktu yang terlalu lama, dua orang asing itu mulai menjalin hubungan manis dalam sebuah status. 12 Oktober 2012. Status yang membuatku berhak memanggilmu sayang, status yang menjadikanku berhak menjulukimu milikku.


Hatiku berdesir. Senyum acapkali singgah ketika melihat pesan-pesan singkatmu memenuhi inbox handphone-ku setiap menit, setiap hari, setiap minggu, selama berbulan-bulan. Percakapan sederhana itu lantas menjadi sarapan dan makan siangku, menemani aku menghirup napas dan memupuskan semua kesedihanku. Aku bahagia meskipun kamu memang tak benar-benar hadir disisiku. Aku bahagia karena entah mengapa... semuanya terlihat berwarna.

Tapi lagi-lagi, bum! Mengapa semua kebahagiaan selalu begitu cepat berakhir? Aku bahkan masih merindukan kamu, aku masih merindukan saat-saat ketika senyummu adalah satu-satunya hal yang perlu kulihat untuk berhenti menangis. Mengapa kamu begitu ingin mengakhirinya? Padahal aku masih ingin merasakan kebersamaan ini sedikit lebih lama lagi. Padahal aku masih kepayahan menahan gejolak rindu yang terus-menerus membuncah; minta diungkapkan.

Ah, aku semakin bosan menangisimu, Sayang. Seminggu memang bukan waktu yang cukup untuk menghilangkan rasa, bukan juga rentang yang panjang untuk melenyapkan luka. Aku begitu tersakiti. Aku terlalu berharap banyak dari kita. Aku terlalu suka berimajinasi dan membayangkan kisah kita punya akhir yang begitu membahagiakan, atau paling tidak tak semengecewakan ini.


Aku menangis untuk kesekian kalinya, untuk entah tetes air mata keberapa yang aku habiskan karena kamu; karena kita yang pernah ada. Sungguh, jika kamu masih sedikit saja sudi mendengar celotehan anehku, akan kuceritakan tentang betapa sulitnya mengikhlaskan. Dari ada, menjadi tidak ada. Dari milikmu, menjadi bukan milikmu. Bahkan milik orang lain.

Yah... mungkin kita memang sudah lepas dari status, tapi harus kuapakan kenangan?



with love,

Dedicated for Fasya :)





Sabtu, 08 Juni 2013

Di Malam Minggu…

Rissa tersenyum tipis saat memandangi semaraknya orang-orang yang berlalu lalang disekitarnya. Ini malam minggu yah? Hatinya bergumam dengan pedih. Dia kembali menatap langit malam tanpa bintang yang biasanya dia nikmati bersama sosok itu. Sosok pria manis yang pernah singgah dalam hidupnya. Kamu dimana? Padahal aku berharap kamu menemaniku malam ini. Tulisnya diatas lembaran kertas yang selalu menjadi temannya dalam pedih– buku puisi ciptaanya. Dulu, ini tempat terindah kita. Tempat kita memandangi bintang dengan gelak tawa dan senyuman manis. Kenang Rissa lagi.

Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu lebih memilih hilang saat aku mulai menyadari betapa berharganya kebersamaan kita? Ah, semuanya terlambat. Aku baru menyadari betapa busuknya kamu ketika aku mulai percaya bahwa kamulah yang terbaik. Aku baru mulai mengerti betapa manisnya perasaan ini ketika kamu pergi tanpa pamit, kembali dengan sekenanya dan berpura-pura seakan semuanya masih baik-baik saja. Apanya yang baik? Apa kamu tak sadar kalau hatiku berantakan? Kamu tidak tahu betapa tersakitinya aku! Melihat kamu berpaling dengan perempuan mengagumkan yang ada disisimu sekarang... Aku terluka. Apakah aku terlambat menyayangimu? Atau… kamu yang terlalu cepat menyingkirkan aku? Rissa mulai menitikkan air mata.

Dari dulu kamu benar-benar menganggapku mainan, kan? Bodoh. Aku tahu aku bodoh. Aku tertipu oleh penampilan sederhana nan lugu itu. Aku dibuat buta oleh manisnya kata-kata yang kamu tebar dengan tanpa perasaan, dengan datar. Rissa mulai terisak. Tak berartikah semua kedekatan kita selama ini? Apakah aku terlalu konyol untuk mengharapkan sedikit saja ketulusan dari semua kenangan manis kita?

Rissa mengambil tissue dan menyeka air matanya yang tumpah dengan sendirinya. Aku kesakitan, sayang. Hatiku sakit. Dia membatin sambil memandangi kursi kosong di hadapannya. Kursi yang biasanya ditempati oleh pria manis berperangai buruk yang sudah meremuk-remukkan hatinya. Kamu terlepas saat bahkan belum benar-benar tergenggam. Kamu pergi saat kita bahkan belum benar-benar merasa dekat.

Rissa kembali memandang langit menghitam di hadapannya. Bintang-bintang pergi seiring menghilangnya kamu dari peradaban hidupku. Senyumku meredup bersamaan dengan hujan yang menetes dari pelupuk mataku. Aku terluka, sementara kamu sibuk tertawa. Aku menangis, sedangkan kamu sibuk mengumbar kata-kata manis. Di mana perasaanmu, Sayang? Berbahagialah dan tertawakan saja serpihan hatiku!

Rissa menangis sesenggukan, kelopak matanya terlihat kepayahan menahan butiran bening yang mulai menetes mengaburkan pandangannya. Beberapa minggu setelah kepergianmu, aku masih meringis. Hatiku enggan mensterilkan kamu dari setiap sudutnya, dia bersikeras mengenang. Tapi kemana perginya rasa manis kenangan? Saat aku menunggunya ditempat biasa kita tertawa, kenapa malah tangis yang kudapat?


Rissa mengedarkan pandangannya ke sekeliling, nuansa malam minggu jelas terasa dengan begitu banyaknya pasangan yang berlalu lalang dengan senyuman cerah yang terukir diwajah mereka. Rissa menerawang jauh.


Dimalam minggu aku temukan pelipur laraku, dimalam minggu pula aku kehilangannya.
Dimalam minggu aku menikmati sisa-sisa kebersamaan kita, dimalam minggu pula aku menangisinya.
Dimalam minggu…

Rabu, 05 Juni 2013

Mendewa(sa)kan Kepedihan

Baca sebelumnya disini : Mendewakan Kepedihan


Ini hidup. Memangnya apa yang kamu harapkan ? Ini dunia. Ini bukan negeri dongeng yang sempurna segala-galanya. Hidupmu menyakitkan? Aku juga. Hidupmu tak seperti dambaanmu? Aku juga. Sudah kukatakan, ini hidup. Ini bukan tempat mengumbar keluhan. 
Untuk apa kamu dilahirkan? Untuk hidup, untuk memperbaiki tingkah lakumu yang sudah cukup buruk. Bukan memperparahnya.
Kamukah satu-satunya yang tersakiti?
Ah tolong, jangan banyak berharap. Kamukah satu-satunya yang menangis meratapi hidup? Jelas tidak. Kamu ingin dimengerti? Aku juga. Cobalah sesekali berbicara, jangan terus-terusan memendam. Kamu pikir seisi dunia ini cenayang? Yang bisa membaca semua keinginanmu tanpa perlu kamu tuturkan? Kamu tahu komunikasi, kan? Itu hubungan timbal balik. Dialog. 
Bukan deretan monolog bla bla bla yang cuma kamu teriakkan dalam hati.

Seseorang menyebutmu benalu? Segera menjauhlah dari mereka...  Benalu yang sesungguhnya kadang menatap terlalu jauh; sangat-sangat jauh, sampai mereka lupa berkaca pada cermin yang dipegangnya sendiri.


Ini alam liar. Kamu tak akan pernah bisa menyenangkan semua orang. Para pembenci dan pendengki itu akan memakimu, menyakitimu dan memojokkanmu habis-habisan. Mereka akan meludahimu, melemparimu dengan segala macam hal berbau busuk, dan meruntuhkan mentalmu. Lalu kamu ingin menyerah? Cuih! Kalau begitu, kamu belum siap hidup.
Kenapa? Itu pertanyaanmu?

Para pembenci itu akan menertawakanmu. Mereka akan meneriakkan betapa pengecut dan memalukannya kamu! Tapi tenanglah, lidah tak membunuh. Kata-kata mereka tak perlu kamu bungkus dan kamu masukkan dalam hati. Jangan biarkan otakmu terkontaminasi! Ingat, cuma sampah paling busuk yang meneriakkan sampah pada orang lain. Jangan kotori mulutmu untuk seseorang yang bahkan sudah tak pantas lagi kamu pedulikan.


Berhentilah dan dengarkan hinaan itu, resapi dan pelajarilah. Belajar dari musuhmu, Sayang. Mereka sahabat terbaikmu. Mereka hanyalah seseorang yang terlalu gengsi untuk mengakui bahwa mereka mempedulikanmu. Mereka cuma sekumpulan manusia berego tinggi yang tak bisa mengakui bahwa hidupmu ternyata lebih menarik daripada mereka. Abaikan mereka, Sayang. Ini hidup, ini bukan tempat menangisi takdir!

Dan setelah membaca semua kata-kata ini, masih ingin matikah kamu? Pecundang...



Mendewakan Kepedihan

Aku benci dunia. Aku benci hidup. Semua menampar aku dengan kejinya dan membuang aku ke kebusukan terdalam. Tak ada yang peduli, meski hari berganti kelam. Tak ada kata mengerti, meski derai air mata terpaksa kutahan disetiap detiknya. Aku mencoba tegar, memendam rasa sakit itu dalam diam. Tak pernah kutunjukkan rasa sakitku, meski kadang aku sendiri hampir gila dibuatnya! Siapa yang peduli? Untuk apa mereka peduli?

Aku benci hidup. Aku benci mereka! Disaat semua hujatan itu diarahkan padaku, aku berpura-pura tak mendengar… atau bahkan hanya sekadar tak ingin mendengar. Lagi-lagi aku benci hidup, karena semua yang hidup seakan membenciku dan tak mengharapkan aku ada. Lagi-lagi aku ingin bertanya pada yang mengutusku disini, untuk apa aku hidup? Jika bahkan untuk menyenangkan seorang manusiapun aku tak bisa. Jika bahkan seorang temanpun tak aku miliki.

Apa ada yang mengerti aku? Saat dia pikir dia mengerti, itu munafik! Mereka selalu ingin dimengerti, tanpa pernah berusaha merasakan bahwa aku juga ingin dimengerti. Aku juga ingin dipedulikan. Setiap hinaan yang mereka lontarkan jelas melukai aku, dan menghinaku seakan rongsokan. Aku tak suka dilahirkan dan seringkali berharap tak pernah dilahirkan. Aku lebih suka tak ada daripada hidup hanya sekadar jadi benalu. Tak adakah kisah yang lebih baik untukku? Apa hanya untuk ini aku hidup? Kenapa tak seorangpun menganggapku penting?

Iya! Aku memang cuma parasit yang menggangu! Dan jika kalian menyadarinya, kenapa tidak kalian bunuh saja aku? Biarkan aku menerima kesenangan. Aku jelas lebih suka mati! Ayoo, tunggu apalagi? Bunuh aku sebelum semua perkataan dan cacian mereka membuat aku gila. Tolong, bunuh aku!





Baca lanjutannya disini : Mendewa(sa)kan Kepedihan

Sabtu, 18 Mei 2013

Berpaling dalam Kenangan

Ini, entah malam minggu keberapa yang sudah kuhabiskan tanpa kehadiranmu. Tak ada lagi ajakan untuk sekadar mengisi hari ini dengan senyum. Berdua. Ditempat biasa kita memandang bintang dan lautan malam. Tak ada lagi lelucon dan rekaman-rekaman manis yang kamu bagi bersamaku. Tak ada lagi percakapan- percakapan panjang yang biasanya selalu diiringi tawa. Tawa kebahagiaan kita.
Aku mulai mengenali apa yang aku cintai, Tuan. Yang mulai lebih aku sayangi dibandingkan kamu. Iya, menulis. Apakah kamu tahu mengapa aku memanggilmu sinar alfa? Kamu jelas tahu lambang alfa kan, Tuan? Kamu, anak IPA yang mencintai Kimia. Kamu jelas tahu muatan sinar alfa kan, Tuan? Iya, silakan jawab dan aku akan tersenyum. Kamu, sinar alfaku. Sinar radioaktif bermuatan positif yang mempunyai daya ionisasi terkuat. Mengagumkan bukan?
Kamu belum tahu. Kamu tak sempat kuberitahu bahwa aku– selama dua kali berturut-turut, mendapatkan nilai sempurna dalam ujian kimia di semester ini. Bukan. Aku tak bermaksud menyombongkan diri. Kamu tahu kenapa? Karena buku paket kimia yang kupegang, buku paket kimia yang kumiliki sekarang, pernah singgah ditanganmu sebelumnya. Iya, itu buku yang menemanimu selama setahun lalu. Kamu tahu betapa terkejutnya aku? Sangat. Mungkin itu sebabnya aku cukup familiar dengan namamu, dengan nama yang masih saja tak berani kusebutkan.
Kamu bermuatan positif. Tahu pasangannya positif, kan? Iya, negatif. Aku memilih nama yang punya kadar kelemahan. Maaf, aku tak tahu bahwa daya ionisasi terkuat akan membuatmu berkemampuan menarik muatan negatif, Tuan. Aku sangat tak mengira bahwa sinar alfaku akan berhimpitan dengan kutub negatif, dengan berbagai hal yang salah.
Sudah, lupakan. Aku sudah mulai berpaling, Tuan. Aku jelas lebih mencintai menulis. Aku pastinya lebih menyayangi setiap huruf dan kata yang pernah aku goreskan dibanding kamu. Kenapa? Aku mulai jahat yah? Maaf, tapi bukannya kita semua tahu siapa yang dikhianati?
Santai, Tuan. Aku tidak marah. Aku bukan pendendam kolot yang menyimpan kebencian dalam setiap rongga hatinya. Aku cukup pemaaf. Hidupku terlalu singkat untuk sekadar membenci seseorang yang bahkan sudah tak pantas lagi aku pedulikan. Iya, aku cukup bijaksana untuk memilih diam. Untuk lebih memilih menanggapi setiap pertanyaan-pertanyaan konyolmu dengan lelucon. Untuk lebih memilih tertawa dibandingkan menangis.
Aku cukup waras untuk tidak menyesali kepergianmu, Tuan. Aku merasa seperti ada yang aneh. Kamu sepertinya terlalu mahir dalam penghianatan. Kamu terlalu mahir menerbangkan aku tinggi-tinggi ke atas langit, lalu merobek sayapku saat aku bahkan baru meresapi betapa bahagianya melayang diudara. Apa menurutmu ini lucu? Tertawakan saja airmataku, Tuan.
Aku sudah mulai bosan menulis tentangmu. Aku mulai kehabisan bahan obrolan. Aku mulai letih membiarkan kamu berlalu lalang dalam rongga otakku. Membiarkanmu mengembalikan kenangan yang sudah dengan sangat rapi kususun dalam bentuk alinea.
Yah, aku kembali mengingatnya. Lagi-lagi kisah yang sudah terlewatkan ini akhirnya kuceritakan lagi, dan lagi-lagi sosokmu yang sudah menghilang dari peradaban hidupku itu harus kubayangkan lagi. Bagaimana, Tuan? Berkesankah tulisan-tulisan yang pernah aku tulis dalam tangis? Aku harap kamu menyukainya, aku harap kamu meresapi kata demi kata yang kutulis dan menemukan betapa tersakitinya aku.
Aku tak suka berlarut-larut, Tuan. Kebersamaanmu dengannya sudah sangat cukup membuatku tahu diri. Aku menyingkir. Sekarang apalagi? Belum puas menyerpihkan hatiku? :')

Rabu, 15 Mei 2013

Masih Tentang Kamu


Belakangan ini, kumpulan paragrafku semakin membosankan. Isinya cuma kamu. Kamu. 
Kamu lagi, kamu lagi. Iya, kamu
 sang penghianat dengan tipu daya tingkat dewa. Sang pecinta Cules yang bahkan tak berani menatap mata korbannya. Menatapku.
Aku salah. Aku sangat lupa kalau ternyata setiap manusia mempunyai topengnya masing-masing. Aku tak tahu kalau ternyata dibalik sisi terangmu, kamu sama sekali bukan pria manis yang selama ini aku bangga-banggakan. Kamu sama sekali bukan sosok sederhana yang selama ini aku cari-cari.
Kamu tahu apa yang paling aku benci sekarang? Aku benci pertanyaan-pertanyaan konyol mereka tentangmu. Tak bisakah itu ditujukan kepada dia yang ada di sisimu sekarang? Tolong jangan tanyakan kabarnya padaku. Tolong jangan tanyakan aktivitasnya lewat aku. Tolong jangan tanya kemana dia akhir-akhir ini karena kalau boleh jujur sejujur-jujurnya, aku tidak pernah tahu! Aku muak.

Aku semakin ingin menamparmu sekarang. Kenapa? Karena seperti yang pernah kuberitahukan, aku dikhianati. Karena seperti yang pernah aku dengung-dengungkan, kamu penghianatnya. Iya, kamu... aku selalu benci ekspresi pura-pura bodohmu. Ekspresi wajah lugu nan polos dibalik sesosok pembohong kelas dunia bertaraf master. Penipu terlatih.
Sahabatku benar, aku curiga bahwa kamu 'sakit'. Aku curiga bahwa kamu punya kecenderungan menyakiti dan tanpa rasa bersalah. Kamu terlalu mudah merancang permainan, mengambil rencana dan memporak-porandakan hati wanita itu satu persatu-- termasuk aku. Aku sangat menyesalkan jika sosok semanis kamu ternyata benar-benar 'tak waras'. Aku sangat bersimpati jika sosok semenakjubkan dan sealim kamu ternyata benar-benar 'sakit'. Sakit jiwa, sakit mental, sakit otak.

Aku diam. Aku tak akan banyak berkomentar soal 'cinta' versimu. Cinta yang ternyata cuma lima huruf penentu kalah dan menang. Cinta yang ternyata hanyalah tentang siapa yang menangis dan tersakiti di akhir cerita. Aku tahu aku kalah, aku mengalah kepada 'cinta' versimu yang entah mengapa terasa begitu mengerikan. Aku selalu bergidik ngeri jika mengingat-ingat bahwa ternyata sosok yang pernah menyandarkan aku ke bahunya, sosok yang pernah menggenggam jemariku erat-erat, sosok yang pernah menjadi keseharianku selama ini adalah sosok yang sama dengan penghianat yang sedang kuperangi sekarang.
Aku tercekat. Wanita mana yang tak tersakiti jika pria dambaannya selama ini ternyata hanyalah seorang bajingan busuk pengobral cinta? Wanita mana yang takkan terluka jika pendampingnya selama ini ternyata juga membagi cintanya pada entah berapa banyak wanita? Aku tertusuk tepat di hatiku, berdarah dan nyaris sesak napas. Aku terpatung memandangi senyuman jahatmu. Kamu yang kemudian malah asyik tertawa, mengumpat dan mencaci maki kemahatololanku. Aku sesenggukan menangis, sementara kamu sibuk melucu, membuat lelucon dan menjadikanku bahan tertawaan. Selucu itukah rasa sakitku?
Aku salut luar biasa! Aku sama sekali tak menduga bahwa sosok yang pernah kusayangi, sosok yang pernah kupedulikan, ternyata akan berubah menjadi menakutkan dan semenyeramkan ini. Aku tersakiti luar biasa! Aku benar-benar dilukai dalam-dalam oleh kata-kata manis yang sekarang dihempaskannya dengan tanpa perasaan. Aku bisa apa? Kamu boleh tertawa sepuasmu, Sayang! Silakan hina aku jika itu membuat 'penyakitmu' sembuh, aku tidak akan menyangkal sedikitpun soal kisah ini.
Pergilah, Sayang! Pergilah dan jangan pernah kembali. Tolong jangan berbesar hati saat melihat tulisanku yang banyak bercerita tentangmu. Aku hanya berusaha bersikap baik. Aku hanya berusaha menghargaimu sebagai kenangan, sebagai masa lalu yang takkan pernah terlupakan. Pergilah. Tolong jangan harap aku akan menerimamu di masa depan karena sekali saja merasakan bagaimana dicintai penghianat itu... percayalah kamu tidak akan mau mencicipinya lagi :')

Senin, 06 Mei 2013

Mengenang kamu, lagi

Ini tentang senyum, aku belajar begitu banyak dari kamu. Tentang betapa harusnya aku memendam bermilyar-milyar rasa sesak di dadaku, tentang betapa wajibnya aku memperlakukan orang lain dengan hati nurani yang lembut. Kamu mengajari aku banyak hal. Tentang musik, tentang lagu, tentang hidup dan tentang tawa bahagia. Kamu memberikan aku banyak hal. Segudang senyum, segenggam kehangatan, kelembutan dan sekumpulan rindu yang tak manusiawi.

Aku sama sekali tak akan berani menyebutkan namamu, tapi semua yang pernah mengenalku, semua yang pernah mengenal kita, mereka pasti tahu siapa sinar alfaku. Aku sempat berpikir bahwa kamu berbeda. Kamu unik. Kamu, sosok misterius yang tiba-tiba saja muncul dan menyisipkan senyum dalam hari-hariku. Kamu, sosok humoris yang dengan sekejap hadir dan tanpa kusadari telah mengisi keseharianku. Aku menjadi terbiasa bersamamu, terbiasa tersenyum saat membaca setiap detail kisahmu yang tak pernah luput kamu ceritakan setiap harinya. Aku menjadi terbiasa mencicipi kebahagiaan, mendengar kamu bercerita tentang ini-itu lantas membuatku tersenyum. Aku bangga menjadi orang yang kamu percayai.

Apakah kamu masih ingat pertemuan pertama kita? Saat itu pagi yang cukup dingin, kamu memakai jaket jeans-mu sementara aku sibuk merapatkan jaket biru muda kesayanganku. Kecanggungan jelas terjadi dalam perjalanan singkat kita. Saat itu aku cuma bisa membisu, aku yang masih sangat gugup untuk sekadar memulai obrolan. Hehe manis yah? Akhirnya semua yang kutakutkan sejak awal mulai menjadi nyata, kita mulai berjarak dan sudah tak lagi saling mengenali. Lalu aku bisa apa? Aku cuma masa lalu, kan? Bukan orang yang kamu harapkan ada di setiap detik hidupmu kelak. Aku bukan apa-apa, kan? Aku cuma sebuah cerita yang kamu simpan dalam diam, aku cuma sepotong kecil kenangan yang terlupakan.
Yaaa... mungkin aku setengah waras sekarang. Iya, jangankan kalian, aku bahkan kebingungan mengapa aku masih bisa tertawa saat mengenangmu. Aku masih seringkali tersipu malu saat mengingat berbagai kata-kata manis yang pernah meluncur dari bibirmu. Aku aneh, yah? Saat aku sudah disakiti sedemikian rupa dan aku masih bisa tertawa? Aku bodoh, yah? Saat aku sudah dikhianati sedemikian parah dan aku masih bisa mempedulikan dia? Iya, aku bodoh. Puas?
Mereka memang masih sering membicarakan kamu, Tuan. Mereka memang masih menunggu kelanjutan kisah kita, tapi apanya yang berlanjut saat penghianatan sudah terang-terangan kamu perlihatkan? Apanya yang dinantikan saat kita bahkan sudah benar-benar saling mengabaikan? Mereka suka asyik sendiri bercerita tentangmu. Sementara aku sibuk menutup telinga, memasang senyum dan berpura-pura bahwa segalanya masih baik-baik saja. Sekuat itukah aku?
Mereka masih gemar bercerita tentangmu, Tuan. Mereka bilang aku masih menunggu kepastian. Ah ayolah, kepastian macam apa yang kuharapkan dari seseorang yang sudah jelas- jelas menggandeng wanita lain saat tak bersamaku? Masa depan macam apa yang kubayangkan bersama seseorang yang sudah jelas-jelas terbukti mengkhianati kepercayaanku?
Aku tahu, aku bertemu kamu untuk sebuah alasan, untuk sebuah pengalaman hidup yang tak akan aku temukan dalam biografi manapun, untuk sebuah perasaan manis yang tak akan aku mengerti hanya dengan sekadar membayangkannya. Aku tahu, aku bertemu kamu untuk sebuah pelajaran. Untuk sebongkah rasa ikhlas yang seringkali kamu nasehatkan padaku. Untuk sekeping kesabaran yang tak pernah henti-hentinya kamu ingatkan setiap detiknya.
Aku tak pernah menyesal mengenal sosokmu, Tuan. Aku tahu kamu tidak bermaksud jahat. Kamu yang membuat aku bahagia, kamu juga yang membuat aku sedih. Hidup itu berputar, kan? Sudahlah, aku tak pernah mengharapkan kamu kembali. Aku cuma suka mengenang, Tuan. Mengenang bukan berarti ingin segalanya terulang, kan?
Sampai jumpa di masa depan, Tuan. Andai kita ditakdirkan bertemu lagi nanti... mungkin aku akan menamparmu beberapa kali, dengan keras ;)

Selasa, 23 April 2013

Belajar Mengikhlaskan

Dan sekarang, inilah akhirnya. Sungguh, bukan aku yang membuat jarak. Dia selalu menyerukan sombong ke arahku, tapi sungguh, bukan aku yang menjauhkan kita. Aku cuma sedikit lengah dan tiba-tiba, gelombang transversal itu sudah tak lagi menyatukan kita. Tak ada lagi pesan singkatmu yang biasanya mampir di inbox handphoneku. Tak ada lagi sapaan ringan yang sudah menjadi bagian dari hidupku akhir-akhir ini. Aku jelas tercengang, gelisah dan kebingungan. Perubahan drastis akan hilangnya sosok yang sudah menjadi keseharianku sangat cukup membuatku mematung, melamuni dia yang entah bahkan mengingatku atau tidak.

Sedih yah saat mempercayai orang yang salah. Saat orang yang membuatmu bahagia, saat dia yang menyelamatkan hari-harimu… menghilang. Ya memang bukan salahnya. Aku yang membiarkan dia masuk dalam kehidupanku dan aku yang salah. Dia layaknya orang-orang yang dulu pernah kukenal, pergi tanpa pamit. Dia hilang, bahkan dengan tanpa janji untuk kembali.

Aku menjadi sedikit lebih sendu sekarang, pikiranku tentu saja melayang ke arah satu nama itu, namamu. Nama yang tak akan berani kusebutkan di sini. Siapa kamu? Kamu cuma sesosok pria biasa yang sudah menemaniku melewati detik demi detik hidupku selama berbulan-bulan. Kamu hanyalah sosok sederhana yang tak pernah puas meledekku pesek. Kamu cuma seorang Cules yang selalu memojokkan kecintaanku pada Los BlancosIya, aku selalu mengatakan cuma dan hanya saat mendeskripsikan kamu, tapi nyatanya, kamu tak sesederhana itu.

Aku tahu, aku tolol jika berharap semuanya bisa kembali seperti semula. Aku jelas tak mengharapkan itu. Apalagi, setelah kamu dengan terang-terangan menunjukkan dia yang ada disisimu sekarang. Dari awal, kamu memang bersamaku, kamu memang disampingku, tapi semua yang pernah kamu ceritakan, selalu tentang dia yang kamu pilih sekarang. Yaa lupakan... Aku yakin, mungkin kamu sedang berada di titik jatuh cinta setengah mati pada dia sekarang. Kamu pastinya sudah sering memanggil dia 'sayang', memberikan kata-kata manis yang dulunya hanya kamu tujukan padaku. Tidak, aku tidak akan mendoakan hubungan kalian pupus ditengah jalan karena sepertinya, kamu sudah berbahagia dengan kekasih barumu. Kamu sudah memilih dia sebagai calon masa depanmu.

Aku memang tidak marah, Tuan. Aku hanya berharap semoga dia bisa membahagiakanmu. Agar kamu bisa selalu tersenyum dan tak perlu merasakan apa yang aku rasakan. Aku hanya meminta agar dia mengerti betapa mudahnya kamu merasa bosan, agar dia selalu sedia menemani kamu di ujung telepon setiap malam. Agar dia tak lagi membalas pesan singkatmu dengan waktu berpuluh-puluh menit– seperti yang dulu selalu kamu ceritakan padaku.  

Selamat Tinggal, Tuan. Selamat berbahagia :) sampaikan pada kekasih barumu, aku turut berbahagia kamu memilihnya. Tolong sampaikan padanya agar dia selalu menjaga baik-baik perasaanmu, agar kamu tak perlu merasakan betapa sakitnya perpisahan seperti yang aku rasakan. Terimakasih, Tuan. Terimakasih atas rintikan hujan yang kamu ciptakan dipelupuk mataku, aku harap kamu menyukai setiap tetesnya :’)