Minggu, 30 Juni 2013

Delapan Bulan; Sebelas Hari

Bum! Semuanya hancur. Air mataku bahkan belum benar-benar mengering dari sisa tangisku semalam. Mataku sembab, pipiku basah dan hidungku berair. Aku menulis ini saat aku tak tahu lagi harus kukemanakan rasa sakitku. Aku menulisnya ketika hatiku mulai berkeping-keping dan terlalu sulit untuk kubenahi. Butiran bening itu sukses mengalir dipipiku, menetes keatas kertas tempat aku menuangkan semua luka dan pedih yang melandaku akhir-akhir ini. Semenjak seminggu lalu, semuanya berakhir. Dalam arti yang sebenarnya.

Kamu. Iya, kamu begitu mudah mengakhirinya.Mengucapkan kata pisah ketika aku masih cinta-cintanya. Memilih pergi saat bahkan aku terang-terangan meminta kamu kembali. Dimana hatimu, Sayang? Kamu kemanakan perasaan yang katanya cinta itu? Dulu, kamulah segalanya. Dulu, akulah segalamu.... Tapi apa? Kenapa kamu tetap memilih pergi?

5 Oktober 2012. Traktiran seorang sahabat mengubah hidupku seutuhnya. Masih kau ingatkah? Saat itu, kamu cuma sosok asing yang menerobos masuk dalam hidupku dengan sekenanya. Terjebak diwaktu dan tempat yang sama, berbarengan memasuki rumah hantu itu dan keluar dengan perasaan yang mulai tumbuh tanpa kuharapkan. Aku mulai menyukaimu.

Seminggu kemudian, tak butuh waktu yang terlalu lama, dua orang asing itu mulai menjalin hubungan manis dalam sebuah status. 12 Oktober 2012. Status yang membuatku berhak memanggilmu sayang, status yang menjadikanku berhak menjulukimu milikku.


Hatiku berdesir. Senyum acapkali singgah ketika melihat pesan-pesan singkatmu memenuhi inbox handphone-ku setiap menit, setiap hari, setiap minggu, selama berbulan-bulan. Percakapan sederhana itu lantas menjadi sarapan dan makan siangku, menemani aku menghirup napas dan memupuskan semua kesedihanku. Aku bahagia meskipun kamu memang tak benar-benar hadir disisiku. Aku bahagia karena entah mengapa... semuanya terlihat berwarna.

Tapi lagi-lagi, bum! Mengapa semua kebahagiaan selalu begitu cepat berakhir? Aku bahkan masih merindukan kamu, aku masih merindukan saat-saat ketika senyummu adalah satu-satunya hal yang perlu kulihat untuk berhenti menangis. Mengapa kamu begitu ingin mengakhirinya? Padahal aku masih ingin merasakan kebersamaan ini sedikit lebih lama lagi. Padahal aku masih kepayahan menahan gejolak rindu yang terus-menerus membuncah; minta diungkapkan.

Ah, aku semakin bosan menangisimu, Sayang. Seminggu memang bukan waktu yang cukup untuk menghilangkan rasa, bukan juga rentang yang panjang untuk melenyapkan luka. Aku begitu tersakiti. Aku terlalu berharap banyak dari kita. Aku terlalu suka berimajinasi dan membayangkan kisah kita punya akhir yang begitu membahagiakan, atau paling tidak tak semengecewakan ini.


Aku menangis untuk kesekian kalinya, untuk entah tetes air mata keberapa yang aku habiskan karena kamu; karena kita yang pernah ada. Sungguh, jika kamu masih sedikit saja sudi mendengar celotehan anehku, akan kuceritakan tentang betapa sulitnya mengikhlaskan. Dari ada, menjadi tidak ada. Dari milikmu, menjadi bukan milikmu. Bahkan milik orang lain.

Yah... mungkin kita memang sudah lepas dari status, tapi harus kuapakan kenangan?



with love,

Dedicated for Fasya :)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar