Sabtu, 08 Juli 2017

Adakah Cinta Tanpa Air Mata?

Ada sesuatu yg salah terjadi. Padahal sepertinya aku masih jauh dari siklus bulananku, kadar hormonku seharusnya ada di titik normal, tapi hatiku seakan terombang-ambing sesukanya; melayang-layang lalu jatuh, diajak terbang lalu didorong hingga terjerembab. Buatku, ini sudah bukan patah lagi namanya, karena ceceran serpihannya saat terakhir kali dia remukpun masih belum sempat aku benahi. Lukanya masih menganga, dan aku seolah tak berniat untuk berusaha mengobatinya. Entah ini cuma aku, atau memang kamu yang semakin tak bisa kutoleransi lagi?

Kecewa bertaburan layaknya dedaunan yang menyerah pada musim gugur, berbuah helaan napas yang disusul rasa tercabik-cabik dalam dada yang meletup-letup minta uapnya dikeluarkan. Tetesan embun dari sudut-sudut matakupun jatuh, mengaburkan pandangan, membawaku kembali pada isakan yang bisingnya kuredam dengan bantal. Aku hampir lupa rasanya cinta tanpa air mata. Ya, kalau pada dasarnya itu memang benar-benar pernah ada.

Air mata, entah mengapa jadi identik dengan cinta. Padahal air mata hanya sebatas rute pelarian konyol yang pintunya kebetulan terbuka, tak berbuat apa-apa terhadap luka selain menambah perih karena kandungan natriumnya. Dia kebanyakan dipilih karena 'gampangan', tak perlu modal apa-apa bahkan seringkali menetes tanpa diniatkan, mudah dihapus juga diisi ulang, tanpa residu, tak menyisakan bekas terkecuali mata sembab dan hidung memerah sisa menangis semalam...

Jadi,

sebenarnya apakah kaitan antara Cinta dan Air Mata?

Apakah Cinta semacam racun dan Air Matalah penawarnya?

Apakah Air Mata itu asap dan Cinta itu api seperti dalam pepatah?

Apakah Cinta sang nenek buyut dan Air Mata adalah cicit pertamanya?

atau mungkin Cinta itu sejenis Chiki dan Air Mata adalah flavor terbest sellernya?

Terakhir, setahuku, status mereka 'It's complicated'.

Minus lima derajat dari pacaran, tapi dua derajat ke kanan melampaui friendzone.

Mau dibilang pasangan bukan... tapi dibilang teman juga, 'Ah, masa iya temenan doang?'





***






Peringatan & Perhatian :

• Tulisan ini dapat menyebabkan baper akut, galau hingga tiba-tiba minta kepastian.
• Ketidakjelasan status dalam dosis besar dan jangka panjang dapat meningkatkan resiko patahnya hati.
• Pembaca yang hipersensitif (baca : baperan) terhadap pacar orang harap segera bertobat.
• Hati-hati! Mendadak menuntut kejelasan status dapat beresiko tinggi merusak hubungan.
• Bila setelah 5 (lima) hari galau tidak hilang, segera hubungi mantan dan minta balikan.


Salam ngaco!



Best Regards,


Kadek Radhita

Rabu, 01 Maret 2017

Tolong, Bantu Aku Berhenti

Padahal aku sudah pernah berhenti melakukannya, berusaha menguasai dan menahan diri. Menunggu sampai bekas goresan-goresan kecil di punggung tanganku hilang, menunggunya pulih dan kembali bersih.

Aku sudah pernah berhenti meninju-ninju dinding beton, berusaha tak mengakui bahwa aku merindukan saat-saat aku menikmati rasa sakitnya, berusaha terbiasa saat sensasi memar dan perih itu hilang dari buku-buku jariku, berusaha tak mengingat bagaimana leganya aku saat perih itu meresap ke rongga-rongga dada.

Aku sudah pernah berhenti melakukannya, mencari cara lain, berusaha melepaskan buih-buih kepedihan lewat tangisan yang aku sama sekali tak tahu tentang apa.

Aku sudah pernah hampir lupa, tapi tiba-tiba aku mulai lagi meninju-ninju perutku, menjambak rambutku dan menghantamkan tinju lainnya ke kepalaku. Rasa sakitnya masih di sana, mengganjal, terlalu banyak dan terlalu pahit sehingga kuanggap lebih melegakan jika berurusan dengan rasa sakit yang benar-benar nyata.

Setidaknya aku tak menggunakan benda tajam... Aku berusaha membenarkan diriku sendiri. ...atau lebih tepatnya belum ada. Batinku menambahkan.

Memar-memar di perutku terasa memuaskan, terlebih saat kepalaku berdenyut parah karena tinjuku yang keras, atau karena berbenturan dengan dinding yang lebih keras lagi. Air mataku masih tak bisa berhenti mengalir, pemikiran tentang satu hal merembet pada hal-hal lainnya. Satu tangisan akan berbuah tangisan lainnya yang lebih histeris. Aku berulangkali menyeka air mata, menyisakan mata bengkak, hidung merah dan pipi yang kaku bekas air mata mengering.


Kucubit punggung tanganku berulang kali, menyisakan banyak goresan berupa garis miring saling beradu yang nantinya akan menghitam.

Tak ada rasanya.

Kujambak rambutku sekuat tenaga.

Masih tak cukup sakit.

Kuayunkan lagi tinjuku ke kepala.

Tidak.

Aku sama sekali belum puas.

Kucakar lenganku dalam-dalam sampai menyisakan empat goresan panjang yang nyaris mengeluarkan darah.

Perih ini masih belum cukup.

Lagi.

Lagi.

Aku butuh lagi.

Tanganku meraih gunting lipat, sekejap menorehkannya ke atas paha, mengulanginya sambil menekan lebih dalam, menggores lebih keras agar melukai lebih banyak.

Sial, ini kurang tajam.

Darah menyeruak, hanya di sebagian titik dan sayangnya tak cukup banyak untuk menetes, tapi cukup untuk membuatku berhenti, menikmati saat-saat ketika perihnya bercampur dengan air mataku.

Aku melirik punggung tanganku, menemukan banyak garis-garis kecil memerah dan membengkak.

Tak akan ada yang memperhatikan juga. Aku membatin.

Oke.

Kali ini cukup.

Entah dengan lain kali.



***



Posting ini dibuat untuk ikut berpartisipasi mendukung gerakan SI Awareness Day (SIAD) 2017.

What is SIAD? Check it out on this youtube video by LifeSIGNS in here or you can visit their website on Life SIGNS

Come join me! Let's break down the mainstream stereotypes and spread the awareness about self-harm and self-injury! The most incredibly important thing is, Stop Judging!



Before you choose to hurt yourself, please give me a chance and read this first.