"Aku
adalah kamu. Dia adalah kamu. Kita semua adalah sama."
Iya, petikan kalimat itu seringkali terngiang ditelingaku. Memang, pepatah yang sederhana. Beberapa kata yang sanggup membuat pikiranku melayang mencerna maknanya.
“Aku bukan kamu! Kita beda! Dasar anak manja!” ucap seseorang
dengan ketusnya. Aku cuma bisa menarik napas panjang, berusaha menahan segala
keinginanku untuk mengomentari perkataan kasarnya itu. Iya, kata-kata itu
memang tidak tertuju padaku. Kulirik sepasang mata yang marah itu. Ah, emosi
sesaat. Waktu yang sangat tepat untuk membuat hati seeorang terluka karena
lidah yang lepas kendali. Aku beranjak berdiri, merangkul pundak sahabatku yang
marah itu dan menenangkannya.
“Sabar, Via. Emosi nggak bisa
membuat masalah kalian selesai.” ujarku sambil menatap dua pasang mata itu secara
bergantian. “Kita disini buat ngomongin ini baik-baik kan?” tambahku retorik.
Kemarahan di mata Via perlahan-lahan
mulai menyurut, dia mengalah dan kembali menghempaskan dirinya diatas sofa kamarku
dengan wajah mengkerut. “Aku muak ngomong sama dia, Sya. Dia nggak bakal ngerti
rasanya jadi aku.” ujarnya masih dengan nada tinggi.
Aku kembali menarik napas panjang. Kesabaranku
sudah cukup terkuras dengan situasi tak mengenakan seperti ini. “Aku tahu, semua
orang punya hidupnya sendiri dan asal kamu tahu, Via. Aku juga nggak akan
ngerti gimana rasanya jadi kamu.” aku menekankan satu kalimat terakhir itu dengan
nada yang cukup membuat mereka berdua menatapku heran. Raut wajah keduanya
jelas menggambarkan rasa bingung yang tak bisa mereka tutupi.
“Maksud kamu?” Arla mulai angkat
bicara.
Aku tersenyum kecut. “Hidup kita kan
beda, ya jelas aja aku nggak akan ngerti rasanya jadi kalian. Aku kan bukan
kalian.” jawabku cuek.
"Ya seenggaknya kamu
berusaha ngertiin gimana capeknya jadi aku, Sya. Aku bukan orang kaya! Aku
harus kerja tiap hari dan kerja itu capek. Barbie super perfect ini mana
ngerti? Yang dia tau tuh cuma ngomel ama buang-buang duit. Ya, kamu tau sendiri
lah mulut cerewetnya itu. Jijik aku dengerinnya." Via menatap Arla dengan
tatapan menantang.
"Heh, gausah asal ngomong ya! Ini bukan masalah
miskin atau kaya. Masalahnya itu mulut kamu yang lancang! Bacotan kamu yang
nyakitin hati! Emangnya kamu pikir itu bagus hah?" Arla mulai terpancing
emosi.
"Emangnya bacot aku kenapa? Biasa aja tuh kalo
dibandingin hinaan kamu yg luar biasa nyakitin itu. Hmm apa yaa..... Oh iya cewek
fakir! Haha gimana Princess Barbie? Udah inget pernah ngatain aku apa?"
ujarnya sambil tersenyum jahat.
"Itu bukan buat kamu! Kamu aja
yang kegeeran sendiri."
"Gausah nyangkal! Aku denger
langsung pas kamu hina-hina aku didepan Rasya. Aku yakin kamu ngomongin aku,
iya kan Sya?" Via berbalik menatap aku. Aku tak bergeming. "Oke, aku
anggep itu artinya iya." Via kembali menatap Arla. "Sekarang apalagi
Princess Barbie? Mau menghina-hina upik abu lagi? Silahkan! Mulut comel kamu
itu nggak berarti apa-apa. Kasian ya anak manja kayak kamu. Sampe segitunya cuma
mau diperhatiin doang." Via tertawa mengejek.
Arla melengos. “Aku bilang juga apa,
Sya! Mulut yang nggak pernah disekolahin itu nggak bakal bisa berhenti! Nyerocos
aja ngeluarin kata-kata busuk yang seenaknya dia susun. Emangnya dikira hidup
aku sempurna? Aku juga punya masalah, aku muak dibilang perfect sama dia!!!”
Arla mengakhiri kalimatnya dengan nada tinggi.
Ah, aku mulai gerah. Satu setengah
jam menyaksikan mereka berdua saling menghina-hina sudah sangat cukup membuat
kesabaranku habis. “Terus kalian maunya gimana? Mau terus-terusan bunuh-bunuhan pake kata-kata?” ujarku
setengah membentak. “Kalian sebenernya mau baikan atau engga sih? Aku capek
liat kalian begini!” Suaraku naik satu oktaf, mereka berdua tetap tak
bergeming.
“Heh, aku ngomong loh… apa kalian
jadi mendadak bisu dan tuli?” retorikku yang sekarang lebih mirip bentakkan.
Mereka masih bergeming. Aku mulai benar-benar kehilangan kesabaran saat
tiba-tiba suara itu muncul.
“SURPRISE!!!!!!!!!!” teriak beberapa
orang secara berbarengan. Aku menengok dan mendapati mamaku sedang tersenyum
sambil memegang seloyang cake besar dengan lilin berangka tujuh belas yang
menyala terang diatasnya. Kudapati Via dan Arla tertawa lebar.
“Ih kaliannn!!!!!” teriakku gemas. Mereka tertawa semakin
keras.
“Happy sweet seventeenth ya, Sya. Maaf loh, kata Divon
biar ada kesan-kesannya.” ujar Arla sambil tertawa lagi.
Aku tercengang. “Divon?”
“Iya, tuh dia dibelakang kamu.” jawab Arla dengan senyum
menggoda.
Aku menengok kebelakang dan mendapati cowok itu tersenyum
manis sambil memegang sebuket mawar merah. Tanpa kusadari, tubuhku gemetar saat
melihat perlahan-lahan dia berlutut......
NB: Ini kutulis 27 Februari 2013 dikantin sekolah, disaat aku menunggu kedatangan seseorang yang pernah membuatku tersenyum :)
NB: Ini kutulis 27 Februari 2013 dikantin sekolah, disaat aku menunggu kedatangan seseorang yang pernah membuatku tersenyum :)