Minggu, 19 Mei 2013

Terdesak Kejutan



"Aku adalah kamu. Dia adalah kamu. Kita semua adalah sama."

            Iya, petikan kalimat itu seringkali terngiang ditelingaku. Memang, pepatah yang sederhana. Beberapa kata yang sanggup membuat pikiranku melayang mencerna maknanya.
            “Aku bukan kamu! Kita beda! Dasar anak manja!” ucap seseorang dengan ketusnya. Aku cuma bisa menarik napas panjang, berusaha menahan segala keinginanku untuk mengomentari perkataan kasarnya itu. Iya, kata-kata itu memang tidak tertuju padaku. Kulirik sepasang mata yang marah itu. Ah, emosi sesaat. Waktu yang sangat tepat untuk membuat hati seeorang terluka karena lidah yang lepas kendali. Aku beranjak berdiri, merangkul pundak sahabatku yang marah itu dan menenangkannya.
            “Sabar, Via. Emosi nggak bisa membuat masalah kalian selesai.” ujarku sambil menatap dua pasang mata itu secara bergantian. “Kita disini buat ngomongin ini baik-baik kan?” tambahku retorik.
            Kemarahan di mata Via perlahan-lahan mulai menyurut, dia mengalah dan kembali menghempaskan dirinya diatas sofa kamarku dengan wajah mengkerut. “Aku muak ngomong sama dia, Sya. Dia nggak bakal ngerti rasanya jadi aku.” ujarnya masih dengan nada tinggi.
            Aku kembali menarik napas panjang. Kesabaranku sudah cukup terkuras dengan situasi tak mengenakan seperti ini. “Aku tahu, semua orang punya hidupnya sendiri dan asal kamu tahu, Via. Aku juga nggak akan ngerti gimana rasanya jadi kamu.” aku menekankan satu kalimat terakhir itu dengan nada yang cukup membuat mereka berdua menatapku heran. Raut wajah keduanya jelas menggambarkan rasa bingung yang tak bisa mereka tutupi.
            “Maksud kamu?” Arla mulai angkat bicara.
            Aku tersenyum kecut. “Hidup kita kan beda, ya jelas aja aku nggak akan ngerti rasanya jadi kalian. Aku kan bukan kalian.” jawabku cuek.
            "Ya seenggaknya kamu berusaha ngertiin gimana capeknya jadi aku, Sya. Aku bukan orang kaya! Aku harus kerja tiap hari dan kerja itu capek. Barbie super perfect ini mana ngerti? Yang dia tau tuh cuma ngomel ama buang-buang duit. Ya, kamu tau sendiri lah mulut cerewetnya itu. Jijik aku dengerinnya." Via menatap Arla dengan tatapan menantang.
            "Heh, gausah asal ngomong ya! Ini bukan masalah miskin atau kaya. Masalahnya itu mulut kamu yang lancang! Bacotan kamu yang nyakitin hati! Emangnya kamu pikir itu bagus hah?" Arla mulai terpancing emosi.
            "Emangnya bacot aku kenapa? Biasa aja tuh kalo dibandingin hinaan kamu yg luar biasa nyakitin itu. Hmm apa yaa..... Oh iya cewek fakir! Haha gimana Princess Barbie? Udah inget pernah ngatain aku apa?" ujarnya sambil tersenyum jahat.
            "Itu bukan buat kamu! Kamu aja yang kegeeran sendiri."
            "Gausah nyangkal! Aku denger langsung pas kamu hina-hina aku didepan Rasya. Aku yakin kamu ngomongin aku, iya kan Sya?" Via berbalik menatap aku. Aku tak bergeming. "Oke, aku anggep itu artinya iya." Via kembali menatap Arla. "Sekarang apalagi Princess Barbie? Mau menghina-hina upik abu lagi? Silahkan! Mulut comel kamu itu nggak berarti apa-apa. Kasian ya anak manja kayak kamu. Sampe segitunya cuma mau diperhatiin doang." Via tertawa mengejek.
            Arla melengos. “Aku bilang juga apa, Sya! Mulut yang nggak pernah disekolahin itu nggak bakal bisa berhenti! Nyerocos aja ngeluarin kata-kata busuk yang seenaknya dia susun. Emangnya dikira hidup aku sempurna? Aku juga punya masalah, aku muak dibilang perfect sama dia!!!” Arla mengakhiri kalimatnya dengan nada tinggi.
            Ah, aku mulai gerah. Satu setengah jam menyaksikan mereka berdua saling menghina-hina sudah sangat cukup membuat kesabaranku habis. “Terus kalian maunya gimana? Mau terus-terusan  bunuh-bunuhan pake kata-kata?” ujarku setengah membentak. “Kalian sebenernya mau baikan atau engga sih? Aku capek liat kalian begini!” Suaraku naik satu oktaf, mereka berdua tetap tak bergeming.
            “Heh, aku ngomong loh… apa kalian jadi mendadak bisu dan tuli?” retorikku yang sekarang lebih mirip bentakkan. Mereka masih bergeming. Aku mulai benar-benar kehilangan kesabaran saat tiba-tiba suara itu muncul.
            “SURPRISE!!!!!!!!!!” teriak beberapa orang secara berbarengan. Aku menengok dan mendapati mamaku sedang tersenyum sambil memegang seloyang cake besar dengan lilin berangka tujuh belas yang menyala terang diatasnya. Kudapati Via dan Arla tertawa lebar.  
            “Ih kaliannn!!!!!” teriakku gemas. Mereka tertawa semakin keras.
            “Happy sweet seventeenth ya, Sya. Maaf loh, kata Divon biar ada kesan-kesannya.” ujar Arla sambil tertawa lagi.
            Aku tercengang. “Divon?”
            “Iya, tuh dia dibelakang kamu.” jawab Arla dengan senyum menggoda.
            Aku menengok kebelakang dan mendapati cowok itu tersenyum manis sambil memegang sebuket mawar merah. Tanpa kusadari, tubuhku gemetar saat melihat perlahan-lahan dia berlutut......



NB: Ini kutulis 27 Februari 2013 dikantin sekolah, disaat aku menunggu kedatangan seseorang yang pernah membuatku tersenyum :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar