Padahal aku sudah pernah berhenti melakukannya, berusaha menguasai dan menahan diri. Menunggu sampai bekas goresan-goresan kecil di punggung tanganku hilang, menunggunya pulih dan kembali bersih.
Aku sudah pernah berhenti meninju-ninju dinding beton, berusaha tak mengakui bahwa aku merindukan saat-saat aku menikmati rasa sakitnya, berusaha terbiasa saat sensasi memar dan perih itu hilang dari buku-buku jariku, berusaha tak mengingat bagaimana leganya aku saat perih itu meresap ke rongga-rongga dada.
Aku sudah pernah berhenti melakukannya, mencari cara lain, berusaha melepaskan buih-buih kepedihan lewat tangisan yang aku sama sekali tak tahu tentang apa.
Aku sudah pernah hampir lupa, tapi tiba-tiba aku mulai lagi meninju-ninju perutku, menjambak rambutku dan menghantamkan tinju lainnya ke kepalaku. Rasa sakitnya masih di sana, mengganjal, terlalu banyak dan terlalu pahit sehingga kuanggap lebih melegakan jika berurusan dengan rasa sakit yang benar-benar nyata.
Setidaknya aku tak menggunakan benda tajam... Aku berusaha membenarkan diriku sendiri. ...atau lebih tepatnya belum ada. Batinku menambahkan.
Memar-memar di perutku terasa memuaskan, terlebih saat kepalaku berdenyut parah karena tinjuku yang keras, atau karena berbenturan dengan dinding yang lebih keras lagi. Air mataku masih tak bisa berhenti mengalir, pemikiran tentang satu hal merembet pada hal-hal lainnya. Satu tangisan akan berbuah tangisan lainnya yang lebih histeris. Aku berulangkali menyeka air mata, menyisakan mata bengkak, hidung merah dan pipi yang kaku bekas air mata mengering.
Kucubit punggung tanganku berulang kali, menyisakan banyak goresan berupa garis miring saling beradu yang nantinya akan menghitam.
Tak ada rasanya.
Kujambak rambutku sekuat tenaga.
Masih tak cukup sakit.
Kuayunkan lagi tinjuku ke kepala.
Tidak.
Aku sama sekali belum puas.
Kucakar lenganku dalam-dalam sampai menyisakan empat goresan panjang yang nyaris mengeluarkan darah.
Perih ini masih belum cukup.
Lagi.
Lagi.
Aku butuh lagi.
Tanganku meraih gunting lipat, sekejap menorehkannya ke atas paha, mengulanginya sambil menekan lebih dalam, menggores lebih keras agar melukai lebih banyak.
Sial, ini kurang tajam.
Darah menyeruak, hanya di sebagian titik dan sayangnya tak cukup banyak untuk menetes, tapi cukup untuk membuatku berhenti, menikmati saat-saat ketika perihnya bercampur dengan air mataku.
Aku melirik punggung tanganku, menemukan banyak garis-garis kecil memerah dan membengkak.
Tak akan ada yang memperhatikan juga. Aku membatin.
Oke.
Kali ini cukup.
Entah dengan lain kali.
***
Posting ini dibuat untuk ikut berpartisipasi mendukung gerakan SI Awareness Day (SIAD) 2017.
What is SIAD? Check it out on this youtube video by LifeSIGNS in here or you can visit their website on Life SIGNS
Come join me! Let's break down the mainstream stereotypes and spread the awareness about self-harm and self-injury! The most incredibly important thing is, Stop Judging!
Before you choose to hurt yourself, please give me a chance and read this first.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar